Lebih lanjut, KPK menyebut bahwa Indra Utoyo (IU) mengarahkan bawahannya untuk mendahulukan dua merek dalam proses uji kelayakan (proof of concept). Merek lain yang berpotensi bersaing tidak diberi kesempatan karena informasinya sengaja tidak diumumkan secara terbuka.
Dokumen pengadaan (term of reference) pun diubah berdasarkan permintaan Elvizar (EL), salah satunya dengan syarat bahwa hanya penyedia yang sudah menjalani POC maksimal dua bulan sebelumnya yang diperbolehkan ikut tender. Hal ini membuat proses lelang menjadi tidak kompetitif dan terkesan formalitas semata.
“Ya sudah jelas, kan, yang menang itu yang mana. Produk yang mana. Karena yang lainnya kan tadi tidak melakukan proof of concept. Tidak melakukan uji teknis, seperti itu,” ujar Asep.
Selain manipulasi dokumen, penghitungan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) proyek tidak berdasarkan harga dari prinsipal (produsen), tetapi dari vendor-vendor yang telah ditentukan. HPS ini kemudian dimanipulasi melalui skema mark-up harga.
Pengadaan EDC BRI dibagi ke dalam dua skema, yakni sewa dan beli putus. Untuk skema sewa, BRI membayar sekitar Rp1,25 triliun selama periode 2021–2024. Namun, pekerjaan tersebut disubkontrakkan seluruhnya oleh EL kepada pihak lain dengan tetap mengambil keuntungan besar dari mark-up harga.