Nasional

Tinggal 4 Bulan, Koalisi Masyarakat Sipil Desak DPR Segera Bahas RUU Perampasan Aset Koruptor

×

Tinggal 4 Bulan, Koalisi Masyarakat Sipil Desak DPR Segera Bahas RUU Perampasan Aset Koruptor

Sebarkan artikel ini
Koalisi Masyarakat Sipil desak DPR segera bahas RUU Perampasan Aset Koruptor
Ilustrasi pembahasan RUU Pembahasan Aset (Foto: Freepik)

Sejumlah isu krusial yang dinilai penting oleh Koalisi untuk wajib dibahas oleh DPR dalam pembahasan RUU Perampasan Aset, antara lain:

1. Kualifikasi APH dan lembaga pengelola aset

Kewenangan Kejaksaan RI sebagai lembaga pengelola aset masih menjadi perdebatan.

Sebab, Kejaksaan RI memiliki kewenangan yang terlalu luas dalam hal pengelolaan aset, termasuk dalam penyimpanan, pengamanan, hingga pemanfaatan dan pengembalian.

Perlu ada jaminan pengawasan pengelolaan aset yang dilakukan oleh Kejaksaan RI agar nilai aset tidak berubah terlalu drastis.

2. Aturan mengenai unexplained wealth order

Unexplained wealth atau harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya merupakan konsep dasar dari illicit enrichment atau pengayaan ilegal.

Jika seorang pejabat publik memiliki harta yang melebihi dari pendapatan seharusnya dan tidak dapat dijelaskan asal dari harta tersebut, maka patut diduga harta tersebut adalah hasil dari suatu tindak pidana, misalnya suap atau gratifikasi.

Sebetulnya, KPK sudah memiliki instrumen LHKPN yang dapat dijadikan sebagai dasar pengenaan pengayaan ilegal.

Agar tidak hanya sebagai pemenuhan administratif belaka, LHKPN dapat digunakan untuk melihat kenaikan harta dari seorang pejabat.

Unexplained wealth penting untuk diatur dalam RUU Perampasan Aset, sebab akan mempermudah pembuktian dugaan korupsi.

3. Threshold jumlah aset yang dapat dirampas

Berdasarkan Pasal 6 RUU Perampasan Aset per April 2023, aset yang dapat dirampas bernilai paling sedikit Rp100.000.000 dan diancam dengan 4 tahun atau lebih.

Batas ini penting untuk dibahas kembali untuk menyesuaikan dengan, misalnya, kondisi inflasi, nilai ekonomis, dan lain sebagainya.

4. Mekanisme upaya paksa dan pengawasan terhadap upaya paksa

RUU Perampasan Aset sangat berkaitan dengan upaya paksa. Meskipun RUU Perampasan Aset tidak mengandalkan pemidanaan terhadap pelakunya, namun terhadap aset yang diduga hasil tindak pidana penyidik dapat melakukan pemblokiran maupun penyitaan.

Kedua hal ini merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang akan membatasi hak seseorang.

Oleh sebab itu, mekanisme upaya paksa dalam RUU Perampasan Aset wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian, agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia.

Mekanisme pengawasan juga harus diperhatikan. Misalnya dengan menggunakan sistem hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan agar memastikan pelindungan hak warga negara.

5. Sistem pembuktian dalam RUU Perampasan Aset

Model pembuktian yang dikenal dalam non-conviction based asset forfeiture adalah pembuktian yang diadopsi dari hukum acara perdata.

Maka, perlu ditegaskan bahwa RUU Perampasan Aset mengadopsi sistem pembuktian terbalik.

Karena bebannya bertumpu pada harta tersangka atau terdakwa, maka perlu ada mekanisme untuk memastikan jika secara nyata harta tersebut merupakan kepunyaan sah milik tersangka atau terdakwa.

Koalisi menekankan bahwa RUU Perampasan Aset harus dibahas bersamaan dengan RKUHAP untuk menghindari tumpang tindih aturan dan menciptakan kepastian hukum.

Baca Juga:  Puan Maharani Minta Masyarakat Segera Lapor Jika Ada Pungli Bantuan Gempa Cianjur

Regulasi ini diyakini akan menjadi instrumen penting dalam pemulihan aset hasil tindak pidana serta memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Adapun Koalisi Masyarakat Sipil yang menyuarakan desakan ini terdiri dari Indonesia Corruption Watch, Auriga Nusantara, Institute for Criminal Justice Reform, IM57+Institute, Kaoem Telapak, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), serta Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.(red)

Baca Juga:  Empat Bulan, Ratusan Janda Baru Muncul Di Bandung Barat

Sumber: Indonesia Corruption Watch (ICW)

Pages ( 3 of 3 ): 12 3