
Raja Charles II bahkan mengabadikan momen saat ia menerima nanas dalam sebuah lukisan karya Hendrick Danckerts pada tahun 1675, menandai betapa istimewanya buah ini pada zamannya.
“The pineapple that was given to Charles II had been shipped over from Barbados (Nanas yang diberikan kepada Charles II dikirim dari Barbados),” ujar Francesca Beauman, penulis buku “The Pineapple: King of Fruits” dikutip dari CNN, Minggu (9/2/2025).
Karena nanas tidak berasal dari Eropa dan sulit dibudidayakan di iklim Inggris, keberhasilannya tumbuh di tanah Britania menjadi prestasi besar.
Para bangsawan berlomba membangun rumah kaca khusus, atau pineries, untuk menumbuhkan nanas, meski membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
Harganya bisa mencapai 80 pound sterling kala itu, setara dengan membeli sebuah kereta kuda lengkap dengan kudanya, atau sekitar 15.000 dolar AS saat ini.
Menariknya, nanas lebih sering dipajang sebagai dekorasi daripada dikonsumsi. Kaum elit bahkan menyewakan nanas hanya untuk dipamerkan di pesta-pesta sebelum akhirnya dikembalikan.
“It would also be displayed on the dining room table as a status symbol, and commonly it would sit there until it began to rot, because why on Earth would you eat a pineapple? It’d be like eating a Gucci handbag (Nanas itu juga akan dipajang di meja makan sebagai simbol status, dan biasanya nanas itu akan dibiarkan begitu saja sampai mulai membusuk, karena untuk apa Anda memakan nanas? Itu sama saja seperti memakan tas tangan Gucci,” kata Beauman.
Buah ini juga menjadi inspirasi desain arsitektur dan seni, terlihat pada berbagai bangunan bersejarah di Inggris, termasuk menara barat Katedral St. Paul dan Dunmore Pineapple di Skotlandia.
Seiring berjalannya waktu, impor nanas dalam jumlah besar mulai meredupkan status eksklusifnya.
Namun, hingga abad ke-19, seperti tergambar dalam novel David Copperfield karya Charles Dickens, nanas masih tetap menjadi lambang kemewahan yang hanya bisa diimpikan oleh banyak orang.(red)