JABARNEWS | BANDUNG – Jabatan di lingkungan Pemerintah Kota Bandung kian jauh dari makna amanah. Ia berubah menjadi komoditas simbolik dengan nilai tukar tinggi. Ia lahir bukan dari pembangunan, tetapi dari transaksi yang memperkaya para pemainnya. Di tengah kenyataan itu, penetapan tersangka kasus jual beli jabatan justru berlarut-larut. Ini seakan menjadi kode transaksi baru yang menandai betapa dalamnya politik negosiasi bekerja di balik layar penegakan hukum.
Pemaparan ini disampaikan Profesor Acep Iwan Saidi, pakar Semiotika dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, dalam tanggapannya terkait kasus dugaan korupsi jual beli jabatan di Pemkot Bandung kepada Jabarnews, pekan lalu.
Penetapan Tersangka yang Tersendat sebagai ‘Kode’
Prof. Acep menilai lambannya penetapan tersangka bukan sekadar proses hukum yang tidak tuntas. Ia membaca fenomena ini sebagai kode transaksi politik.
Ia menegaskan bahwa kasus yang “bagi banyak pihak telah gamblang terlihat siapa yang terlibat di dalamnya, tetapi tidak kunjung melahirkan tersangka, dapat dibaca dan diduga sebagai kode transaksi juga.”
Karena itu, ia menyebut proses tersebut sangat mungkin mengandung tawar-menawar, negosiasi, dan pertimbangan politik. Semua itu, menurutnya, “galibnya transaksi bisnis”.
Dengan kata lain, penundaan tersangka bukan kegagalan teknis. Ia adalah mekanisme politik yang bekerja senyap namun telak.
Kota Bandung dan Permainan Kode Antitesis
Selanjutnya, Prof. Acep merujuk pada semiotika Barthesian.
Ia menyebut kondisi ini sebagai kode simbolik, sebuah kode antitesis.
Ia menggambarkannya sebagai keadaan yang “tidak lumrah jika tidak mau dikatakan skizofrenik (kepribadian yang jeprut atau sengaja dijeprutkan).”
Karena itu, permainan kode ini memecah fokus publik. Bahkan, ia mengubah isu besar menjadi persoalan yang tampak tidak penting.
Dalam era pasca-kebenaran, kata Prof. Acep, “kebohongan yang terus disuarakan akan menjadi kebenaran. Demikian halnya sesuatu yang diambangkan akan dianggap publik sebagai kepastian.”
Artinya, semakin lama proses penetapan tersangka dibiarkan menggantung, semakin kuat masyarakat diarahkan untuk percaya bahwa kasusnya sumir. Bahkan, publik bisa menganggap kasus itu sebenarnya tidak pernah terjadi.
Politik Citra dan Mekanisme Kebisingan
Lebih jauh, Prof. Acep memaparkan bagaimana kejahatan politik kontemporer bekerja.
Menurutnya, dalam politik hari ini “segala hal telah menjadi imej (citra). Tidak benar jika ada persangkaan kejahatan, yang benar adalah pembentukan imej kejahatan.”
Sebaliknya, ia menyebut bahwa kebenaran pun hanya tampil sebagai citra.
Situasi itu sengaja diciptakan melalui mekanisme noise. Semuanya dibuat bising, riuh, dan dramatis, agar batas antara fakta dan manipulasi terus kabur.
Ia menegaskan bahwa “ketidakjelasan perkara adalah kemenangan dari politik kejahatan.”
Karena itu, penundaan penetapan tersangka dapat dibaca sebagai bagian integral dari strategi kebisingan tersebut.
Jabatan sebagai Barang Semiotis yang Bisa Dijual
Mengapa jabatan dijual? Profesor Acep menjelaskan dengan tegas: jabatan kini tidak lagi dipandang sebagai amanah, apalagi tanggung jawab moral.
Ia menegaskan bahwa jabatan berubah menjadi barang semiotis.
Menurutnya, jabatan berfungsi sebagai simbol yang memiliki nilai guna tanda. Semakin tinggi nilai gunanya, semakin tinggi pula nilai tukarnya.
Ia menyebut secara jelas bahwa “nilai guna tanda jabatan berbanding lurus dengan nilai tukar tandanya pula.”
Konsekuensinya, nominal harga jabatan ditentukan oleh citra yang melekat pada posisi itu, bukan oleh kualitas kerja atau kontribusi publik.
Jaringan Transaksi yang Kompleks dan Melahirkan Lingkaran Setan
Pertanyaan berikutnya: dari mana nilai tukar jabatan itu berasal?
Menurut Prof. Acep, jawabannya kembali ke sistem yang sudah cacat sejak awal.
“Jabatan tidak lahir dari rahim pembangunan, tidak tumbuh dari niat membangun bangsa, melainkan lahir dari transaksi jual beli,” ujarnya.
Transaksi itu tentu untuk memperkaya para aktor yang terlibat. Namun, berbeda dengan bisnis konvensional, jual beli jabatan memiliki jaringan yang sangat luas.
Ia menjelaskan bahwa transaksi jabatan “berjejaring seperti rhizoma, yakni batang tumbuhan di bawah permukaan tanah yang memiliki ruas atau buku-buku yang dari situ bisa tumbuh lagi tunas-tunas baru.”
Karena itu, menentukan tersangka dalam kasus ini sangat sulit. Tidak ada hanya dua pihak. Tidak ada satu jalur. Tidak ada satu meja transaksi.
Jaringannya tumbuh dan menjalar. Kompleks. Gelap. Tidak kasat mata.
Prof. Acep menyebut fenomena ini sebagai lingkaran setan dalam jual beli jabatan.(Red)





