Dedi Mulyadi : Istana Sangat Kultural, Harus Ada Perombakan Protokoler Di Daerah

JABARNEWS | PURWAKARTA – Budayawan Jawa Barat Dedi Mulyadi angkat bicara terkait dress code upacara tujuh belasan di Istana Merdeka. Menurut dia, busana yang dikenakan Presiden Joko Widodo dan tamu undangan sangat kultural.

Hal itu ditegaskan Mantan Bupati Purwakarta itu di kediamannya. Tepatnya di Desa Sawah Kulon, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Purwakarta, Senin (20/8/2018).

“Istana sangat kultural. Presiden Jokowi berinisiatif memasukan unsur tradisionalisme ke dalam tata upacara. Ada pakaian adat dan kereta kencana. Nah, untuk melakukan hal yang sama, protokoler di daerah harus dirombak,” katanya.

Ketua DPD Golkar Jawa Barat itu menyebut aturan untuk daerah dibuat Sekretariat Negara. Aturan itu berisi keharusan mengenakan busana PDUB untuk seluruh peserta upacara. Hematnya, aturan untuk daerah itu harus segera diubah agar dapat memasukan unsur kearifan budaya.

Baca Juga:  Api Berkobar Di Malabar

“Jadi, harus disamakan antara pusat dan daerah. Pusat sudah mengembangkan unsur keindonesiaan sementara daerah diatur Peraturan Menteri Sekretaris Negara. Saya kira bisa bersinergi, daerah harus mampu memasukan unsur kearifannya dalam tata upacara,” ujarnya.

Maesenas Budaya Sunda itu mengajak semua pihak merefleksi sejarah. Pakaian putih resmi yang biasa dikenakan kepala daerah merupakan warisan penjajahan Belanda. Karena itu menurut dia, penggunaannya sudah sangat tidak relevan lagi.

Baca Juga:  Berenang Sambil Menikmati Keindahan Di Tempat Wisata Sungai Citoe Tasikmalaya

“Saya kira kebanggaan pemimpin di daerah itu mengenakan pakaian adat. Pakaian yang biasa digunakan untuk upacara bendera saat ini, itu warisan Belanda,” tuturnya.

Jalan Kultural Seorang Pemimpin

Menurut Dedi, pemimpin di Indonesia di berbagai tingkatan memiliki dua tugas. Pertama dia merupakan pemimpin kenegaraan. Kedua, dia merupakan pemimpin kebudayaan. Keduanya harus beriringan dan tidak berat sebelah.

“Secara kenegaraan dia bertugas melaksanakan seluruh regulasi perundangan. Secara kultural, dia bertugas menjaga dan menjadi pengamal kearifan di daerah yang dia pimpin. Tidak boleh ada sentralisme pemikiran, sentralisme pakaian dan sentralisme kebijakan,” katanya.

Baca Juga:  Siap Amankan Pilkades Serentak, Polres Purwakarta Lakukan Apel Gelar Pasukan

Dedi pun menjelaskan maksud tidak berat sebelah dalam kepemimpinan. Dalam konteks lingkungan, tidak sedikit regulasi perundangan yang bertentangan dengan nilai lingkungan. Pemimpin kultur diharuskan memiliki keberpihakan terhadap lingkungan bahkan saat regulasi membolehkan untuk melakukan eksploitasi.

“Jangan sampai hutan dihajar, gunung dihajar laut diuruk karena sekedar dibolehkan regulasi. Pemimpin kultural itu memiliki keberpihakan terhadap kearifan di daerah, termasuk soal lingkungan,” ucapnya. [jar]

Jabarnews | Jawa Barat