JABARNEWS | PURWAKARTA – Belakangan ini, dugaan penyelewengan dana iklan oleh direksi Bank BJB mencuat ke publik. Hal ini memicu kekhawatiran potensi terjadinya penyimpangan serupa di sektor lain, terutama yang menyangkut kepentingan nasabah.
Kekhawatiran ini semakin diperkuat oleh pengalaman nasabah, yang merasa dirugikan akibat kebijakan dan sistem yang diterapkan oleh Bank BJB.
“Bank BJB yang seharusnya menjadi mitra terpercaya bagi nasabah, justru menerapkan sistem yang membuat nasabah kesulitan finansial,” kata Asep ‘Sundu’ Mulyana, Ketua MKKS SMA Kabupaten Purwakarta yang juga nasabah Bank BJB, Kamis (20/3/2025).
Asep Sundu mengungkapkan beberapa praktik Bank BJB yang ia nilai sangat merugikan nasabah, terutama dari kalangan PNS.
“Salah satu kebijakan yang merugikan adalah pemblokiran dana pinjaman sebesar tiga kali cicilan yang tidak bisa digunakan nasabah tetapi tetap dikenakan bunga,” ungkapnya.
Menurutnya, praktik tersebut tidak wajar mengingat cicilan nasabah dari kalangan PNS sudah dijamin melalui pemotongan langsung dari gaji dan penghasilan lainnya, sehingga risiko kredit macet bagi Bank BJB sangat minim.
“Bank BJB harus ‘bertobat’ dan mengembalikan dana yang diblokir kepada nasabah, termasuk bunga simpanan atau kompensasi atas bunga yang telah dibayarkan,” tegas Asep Sundu.
Persoalan lain yang disorot adalah skema bunga pinjaman yang memberatkan nasabah. Menurutnya, pada periode awal hingga pertengahan masa cicilan, Bank BJB menerapkan bunga pinjaman yang sangat tinggi.
Situasi semakin rumit dengan sistem yang dikenal dengan “Overbooking” atau OB, di mana nasabah yang ingin mengajukan pinjaman baru sebelum pinjaman lama lunas. Menurut Asep Sundu, nasabah seperti “dipaksa” melunasi pinjaman lama dengan skema yang tidak menguntungkan.
“Bayangkan saja, jika seseorang mengambil pinjaman Rp50 juta sebanyak tiga kali dengan skema OB, total yang harus dibayar bisa berlipat. Padahal, uang yang benar-benar diterima nasabah hanya sekitar Rp150 juta,” jelasnya.
Kepala sekolah salah satu SMA di Purwakarta ini menyoroti ironi bahwa Bank BJB berupaya menunjukkan citra sebagai lembaga keuangan sehat di mata Bank Indonesia, namun dengan cara yang menurutnya membuat nasabah sakit secara finansial.
“Skema pinjaman dan bunga tinggi dari Bank BJB membuat banyak PNS terjebak dalam lingkaran utang. Ini bisa berdampak pada kinerja mereka dan bahkan berpotensi mendorong praktik korupsi untuk menutupi kebutuhan finansial,” terang Asep Sundu.