JABARNEWS | BANDUNG – Sidang pertama di Pengadilan Tipikor Bandung, Selasa (3/6/2025) memulai babak baru dalam kasus dugaan korupsi lahan aset daerah. Dua pengelola Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT), Raden Bisma Bratakoesoema dan Sri, didakwa telah menguasai lahan milik Pemerintah Kota Bandung (Kebun Binatang Bandung), tanpa dasar hukum yang sah. Jaksa menilai perbuatan itu menimbulkan kerugian negara sebesar Rp25,5 miliar.
Tak hanya itu, dalam dakwaan, nama Yossi Irianto—mantan Sekretaris Daerah Kota Bandung periode 2013–2018—juga ikut terseret. Ada dugaan dia memiliki peran dalam proses sewa-menyewa dan kini telah ditetapkan Kejati Jabar sebagai tersangka dalam berkas terpisah.
Jaksa Ungkap Jejak Keterlibatan Mantan Sekda
Dalam sidang yang berlangsung di Jalan Surapati, Bandung, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjabarkan rangkaian peristiwa yang menurutnya memperkuat dugaan korupsi. Salah satunya adalah permohonan perpanjangan sewa lahan Kebun Binatang Bandung oleh YMT.
“Pada 29 Agustus 2013, pihak YMT mengajukan permohonan perpanjangan sewa atas nama R. Romly S. Bratakusumah (alm),” ujar JPU. Pemerintah Kota Bandung kemudian menagih tunggakan sewa dari tahun 2008 hingga 2013.
Namun, JPU menyoroti bahwa Sekda Kota Bandung saat itu, Yossi Irianto, seharusnya mengambil langkah administratif sebagai pejabat pengelola barang milik daerah. Berdasarkan Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 Pasal 10 huruf F dan G, Sekda memiliki tugas mengelola aset daerah sesuai fungsinya. Apalagi, Yossi saat itu sudah diangkat berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 821:/Kep.1061-BKD/2013 tertanggal 14 April 2013.
Kuasa Hukum Menolak Dakwaan: “Ini Sengketa Administratif, Bukan Korupsi”
Tak tinggal diam, tim kuasa hukum kedua terdakwa langsung menanggapi keras dakwaan jaksa. Dihadapan wartawan usai persidangan, Efran Helmi Juni, SH., MH., menyampaikan bahwa inti dari perkara ini bukan tindak pidana, melainkan persoalan administrasi dan perdata.
“Peristiwa-peristiwa yang disampaikan jaksa itu kan soal perjanjian sewa menyewa, kepemilikan lahan, dan pajak. Semua itu adalah domain hukum perdata atau administratif, bukan pidana,” tegas Efran.
Ia juga menyebut, dalam surat dakwaan, perjanjian sewa menyewa disebut berulang kali, sehingga menurutnya harus dilihat sebagai konflik hukum biasa antara yayasan dan pemerintah kota, bukan bentuk korupsi.
Eksepsi Jadi Awal Pembelaan
Dalam waktu dekat, tim kuasa hukum berencana mengajukan nota keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan. Efran menjelaskan, eksepsi ini akan berfokus pada pertanyaan hukum mendasar: apakah benar terjadi tindak pidana, atau justru hanya peristiwa hukum biasa.
“Kami akan menyampaikan bahwa ada aturan hukum lain yang harus dipertimbangkan. Misalnya, jika memang hanya terjadi perjanjian sewa menyewa, maka itu bukan peristiwa pidana. Itu murni perkara perdata,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa eksepsi yang diajukan juga akan menyentuh aspek absolut dan relatif, meskipun sedikit menyentuh pokok perkara. Menurutnya, hal itu sah dalam rangka menunjukkan konteks utuh di balik kasus ini.
YMT Dinilai Punya Itikad Baik, Bukan Niat Merugikan Negara
Lebih lanjut, Efran menegaskan bahwa pihak yayasan sebenarnya memiliki itikad baik untuk memenuhi kewajiban. Ia menyebut bahwa terdapat penyerahan sejumlah uang oleh internal yayasan, yang tujuannya untuk membayar sewa lahan kepada Pemerintah Kota Bandung.
“Ada proses internal yang menunjukkan bahwa pembayaran sewa itu benar-benar ingin dilakukan. Maka dari itu, kami ingin tahu, apa benar ini dikualifikasikan sebagai korupsi? Atau jangan-jangan hanya miskomunikasi antara yayasan dan pemkot?” katanya.
Persidangan akan kembali digelar pada Jumat 2 pekan depan, di mana tim pembela akan secara resmi membacakan eksepsi di hadapan majelis hakim. Harapan mereka, eksepsi tersebut bisa membuka pandangan baru dalam menilai konstruksi hukum dari perkara ini.
“Kalau terbukti hanya soal sewa menyewa, maka itu bukan tindak pidana. Artinya, para terdakwa harus dibebaskan dari segala tuntutan,” tandas Efran, menutup keterangannya.
Kini, masyarakat menanti jalannya persidangan berikutnya. Apakah pengadilan akan memandang kasus ini sebagai perkara korupsi, atau justru melihatnya sebagai sengketa aset daerah yang keliru dipidanakan? (Red)