JABARNEWS | BANDUNG – Di Pasar Seni ITB, kreativitas memang tidak pernah setengah-setengah. Tahun ini, dua profesor dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB menjual bukan lukisan, bukan kerajinan tangan, tapi ijazah doktoral “asli-palsu” yang bisa jadi dalam 5 menit. Wow, mengalahkan pamor Pasar Pramuka di Jakarta.
Mereka adalah Prof. Yasraf Amir Piliang dan Prof. Acep Iwan Saidi. Dua sosok serius di dunia akademik yang kali ini memanfaatkan panggung seni untuk bercanda secara cerdas—melalui satire.
Aksi ini bukan sekadar lelucon. Bukan pula sindiran kosong. Di balik tawa pengunjung, ada pesan serius: pendidikan di negeri ini sedang kehilangan kejujuran dan makna.
Ramai, Lucu, tapi Penuh Makna
Gelaran Pasar Seni ITB 2025 memang selalu jadi magnet. Setelah absen selama sebelas tahun, ribuan orang kembali memadati kampus di Jalan Ganesha, Bandung, pada Minggu, 19 Oktober 2025.
Di tengah keramaian itu, stan bertajuk “Membukukan Pasar Seni. Menyenikan Pasar Buku” jadi pusat perhatian. Stan tersebut digagas oleh Kelompok Keilmuan Literasi Budaya Visual (KKLBV) FSRD ITB, tempat dua profesor itu bernaung.
Pengunjung antre panjang. Mereka tertawa, bercanda, dan berebut ingin punya “ijazah doktoral sehari”. Setelah membayar, mereka difoto lengkap dengan toga, selempang bertuliskan Doktor Sehari atau Profesor Sehari, dan senyum selebar wisudawan sungguhan.
Bahkan anak-anak ikut antre. Ada yang belum sekolah, tapi sudah semangat mengenakan toga kecil. Seorang orang tua berucap sambil tersenyum, “Belum sekolah sudah jadi doktor. Semoga bisa sekolah sungguhan sampai doktor di ITB.”
Bukan Ijazah Palsu, Tapi Satire yang Nyata
Di balik tingkah lucu itu, Prof. Yasraf menjelaskan makna sesungguhnya.
“Inisiasi menjual ijazah ini adalah ironi,” ujarnya.
“Ini respons terhadap situasi sepuluh tahun terakhir yang penuh kepalsuan. Dari mulai pejabat sampai masyarakat sudah kehilangan kejujuran dan integritas.”
Ijazah itu bertuliskan nama “Institut Pasar Seni Indonesia”, lengkap dengan tanda tangan Prof. Yasraf sebagai “Rektor” dan Prof. Acep sebagai “Dekan Fakultas Berlaku Sehari”.
Namun ijazah ini tidak palsu, karena tidak pernah diklaim sebagai ijazah resmi.
“Kami tidak mendaftarkan ijazah ini ke KPU sebagai syarat jadi pejabat publik,” ujar Prof. Acep sambil tertawa.
“Kami pikir ini satir yang serius, karena pengunjung banyak yang antre. Itu artinya mereka bersama kami.”
Di atas kertas itu, sebenarnya tersimpan kritik sosial yang dalam: betapa mudahnya gelar akademik direduksi menjadi formalitas, tanpa proses dan nilai sejati di baliknya.
Kapital Sosial Bernama “Gelar”
Salah satu pengunjung, Iwan Pirous—anak dari A.D. Pirous, pencetus Pasar Seni ITB—turut membeli “ijazah” itu. Ia memandangnya sebagai refleksi sosial yang menohok.
“Ijazah adalah simbol kapital yang lebih tinggi dari uang,” katanya.
“Orang akan silau dengan ijazah, tidak akan tahu apakah itu palsu atau asli. Tapi menurut saya, ijazah ini bukanlah ijazah palsu. Karena orang yang menandatangani itu asli ada.”
Kata-kata itu terdengar ringan, tapi tajam. Ia menggambarkan realitas masyarakat yang kerap menilai seseorang bukan dari prosesnya, tapi dari gelarnya. Dari selembar kertas, bukan dari pengetahuan yang dibangun bertahun-tahun.
Tawa, Sindiran, dan Cermin untuk Kita Semua
Sehari itu, Pasar Seni ITB bukan sekadar pameran seni. Ia berubah jadi panggung satire. Pengunjung tertawa, tapi juga berpikir. Beberapa bahkan berkelakar”
“Kalau saya beli, bisa jadi presiden nggak?”
Lewat humor, dua profesor itu menampar pelan dunia pendidikan yang mulai kehilangan jiwanya. Mereka membungkus kritik dalam tawa, dan membiarkan masyarakat menafsir sendiri pesan yang tersembunyi di balik kertas berstempel “Doktor Sehari”.
Bagi sebagian orang, mungkin hanya lelucon. Tapi bagi yang peka, itu refleksi: kejujuran kini terasa lebih langka daripada ijazah instan.
Pasar Seni ITB 2025 pun menutup hari dengan pesan yang hangat namun menusuk: bahwa seni bukan hanya tentang keindahan, tapi juga tentang keberanian untuk berkata jujur—dengan cara yang menyenangkan.(Red)