Daerah

Klarifikasi Hakim PN Bandung Usir Wartawan: Prosedur Hukum Atau Kekuasaan yang Abaikan Adab?

×

Klarifikasi Hakim PN Bandung Usir Wartawan: Prosedur Hukum Atau Kekuasaan yang Abaikan Adab?

Sebarkan artikel ini
Klarifikasi Hakim PN Bandung Usir Wartawan: Prosedur Hukum Atau Kekuasaan yang Abaikan Adab?
Hakim yang mewakili Tuhan di bumi kadang lupa, bahwa adab lebih tinggi dari ilmu—apalagi dari kekuasaan yang bisa runtuh dalam sekejap.”

 

JABARNEWS | BANDUNG – Klarifikasi yang seharusnya meneduhkan justru membuka ruang kritik baru. Pengadilan Negeri Bandung menegaskan tak ada pengusiran wartawan dalam sidang kesusilaan dokter Priguna, hanya penegakan aturan sidang tertutup. Namun di balik pernyataan resmi itu, publik membaca pesan lain: bahwa kekuasaan kerap berlindung di balik prosedur, sementara adab dan empati terabaikan di bawah meja sidang. Dalam ruang yang seharusnya menjadi simbol keadilan, bahasa kuasa tampak lebih nyaring daripada etika komunikasi.

Pemeriksaan Internal dan Dalih Prosedur

Semuanya berawal dari pemeriksaan seorang hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung oleh Hakim Tinggi Pengawas Daerah, Kemal Tampubolon, S.H., M.H.

Ia turun tangan setelah mencuat pemberitaan soal dugaan pengusiran wartawan sebelum sidang kasus kesusilaan dokter Priguna Anugrah Pratama. Sidang tersebut digelar pada 27 Oktober 2025 di ruang sidang 1 PN Bandung dengan Wakil Ketua PN Bandung, Lingga Setiawan, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis Hakim.

Hasil klarifikasi yang disampaikan Kemal menyebut tidak ditemukan pelanggaran etik maupun perilaku tidak sopan oleh majelis hakim. Menurutnya, tindakan Ketua Majelis Hakim murni merupakan penegakan aturan hukum yang mengatur bahwa perkara kesusilaan wajib digelar secara tertutup untuk umum.

“Tidak ditemukan adanya kata-kata pengusiran atau sikap tidak sopan. Pernyataan Ketua Majelis Hakim hanya berupa imbauan umum kepada pengunjung agar meninggalkan ruang sidang sebelum sidang tertutup dimulai,” ujar Kemal, Kamis 29 Oktober 2025 dalam siaran pers.

Baca Juga:  KPPPA Dorong JPU Kejati Jabar Banding putusan PN Bandung Kasus Herry Wirawan

Kemal juga menegaskan bahwa tudingan di media sosial yang menyebut hakim bersikap tidak elegan adalah tidak benar dan tidak berdasar. Menurutnya, majelis hanya menjalankan prosedur standar sebagaimana amanat undang-undang, bukan menunjukkan arogansi kekuasaan.

Suara Berbeda dari Ruang Persidangan

Namun, di sisi lain, klarifikasi pengadilan itu tidak serta-merta menghapus kekecewaan di kalangan jurnalis hukum. Ketua Jurnalis Hukum Bandung, Suyono, menyampaikan versi berbeda atas peristiwa tersebut. Ia menilai hasil klarifikasi pengawas justru tidak sepenuhnya menggambarkan kejadian sebenarnya.

“Yang beredar bukan di media sosial seperti disebutkan hakim tinggi, melainkan di media online. Itu karya jurnalistik yang dibuat berdasarkan fakta di lapangan,” tegas Suyono kepada wartawan, Kamis 30 Oktober 2025.

Suyono menjelaskan bahwa dirinya bersama sekitar sepuluh wartawan sudah berada di ruang sidang sebelum sidang dimulai, sebagaimana lazimnya peliputan perkara sensitif. Biasanya, wartawan diberi kesempatan beberapa menit untuk mengambil gambar sebelum majelis hakim menyatakan sidang tertutup. Namun kali itu, situasinya berbeda.

“Begitu majelis hakim masuk, Ketua Majelis langsung menyuruh kami keluar dengan kata-kata yang kurang bersahabat. Saat itu sidang belum dimulai dan pintu ruang sidang 1 pun belum ditutup,” ujarnya.

Baca Juga:  Dedi Mulyadi Tekankan Kejujuran dan Integritas Sebagai Kunci Kemajuan Koperasi di Jawa Barat

Bahkan, lanjut Suyono, ketika salah satu wartawan mencoba mengambil gambar, hakim diduga membentak dengan ucapan, “Hey, jangan ngambil gambar!” Setelah para wartawan keluar dan pintu ruang sidang tertutup, petugas keamanan Yana Suryana kembali meminta mereka turun dari lantai tempat sidang berlangsung.
“Kami sudah di luar, pintu sudah tertutup, tapi tetap disuruh turun. Itu yang membuat teman-teman kecewa,” tambahnya.

Antara Prosedur dan Sikap: Di Mana Letak Adab Kekuasaan?

Perbedaan dua versi ini memperlihatkan persoalan yang lebih dalam: bukan sekadar apakah sidang tertutup itu sah, melainkan bagaimana kekuasaan dijalankan. Pengadilan memang berhak menegakkan aturan, tetapi cara berkomunikasi dengan publik—terutama dengan jurnalis—menjadi ukuran sejauh mana lembaga tersebut memahami makna keadilan yang beradab.

Suyono menegaskan, wartawan yang hadir tidak bermaksud mengganggu jalannya sidang. Mereka hanya ingin menjalankan tugas jurnalistik yang diakui oleh undang-undang.
“Kami memahami sidang kesusilaan bersifat tertutup, tetapi ada etika komunikasi yang seharusnya dijaga. Kami di sana bekerja menjalankan tugas jurnalistik, bukan mencari sensasi,” katanya.

Pernyataan itu menyentuh inti masalah: birokrasi hukum sering kali kering dari empati. Ketika pejabat pengadilan berbicara dengan nada tinggi, masyarakat membaca itu bukan sebagai ketegasan, melainkan sebagai simbol jarak antara kekuasaan dan nurani publik.

Baca Juga:  Buntut Tragedi Kanjuruhan, Mahfud MD Minta Pengurus PSSI Tahu Diri: Mundur!

Kritik dan Harapan dari Kalangan Jurnalis

Bagi kalangan pers, peristiwa di PN Bandung menjadi alarm tentang perlunya reformasi budaya komunikasi di lembaga peradilan. Wartawan bukan musuh keadilan, melainkan jembatan antara proses hukum dan pemahaman publik.

Suyono berharap, ke depan, pejabat pengadilan lebih menghargai tugas jurnalistik yang dilindungi konstitusi.
“Kami hanya berharap agar ke depan, aparat peradilan lebih menghargai profesi jurnalis. Koordinasi bisa dilakukan dengan baik tanpa perlu ada bentakan atau larangan yang berlebihan,” ujarnya menutup pernyataan.

Kritik tersebut tidak berhenti di persoalan etika ruang sidang semata, tetapi juga menyentuh persoalan yang lebih luas: bagaimana lembaga hukum memperlakukan kebebasan pers sebagai mitra, bukan ancaman. Sebab, tanpa komunikasi yang beradab, keadilan hanya akan tampak seperti seremonial—teratur di atas kertas, tetapi kehilangan kehangatan di hadapan manusia.

Ketika Kekuasaan Butuh Cermin

Kisah di PN Bandung ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan, betapapun sah secara hukum, tetap membutuhkan cermin etika untuk menilai dirinya sendiri. Klarifikasi boleh menepis tudingan, tetapi cara berinteraksi dengan publik tidak bisa ditutup dengan alasan prosedur.
Dalam dunia yang semakin transparan, publik menuntut lebih dari sekadar kepatuhan pada aturan—mereka menuntut keadilan yang berwajah manusiawi.(Red)