JABARNEWS | JAKARTA – Transisi energi Indonesia menuju energi hijau terancam mandek menyusul pembatalan pensiun dini PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 MW yang dioperasikan PT Cirebon Electric Power.
Keputusan kontroversial ini memicu perdebatan antara pemerintah yang mengedepankan efisiensi teknologi dengan para ahli yang memperingatkan dampak jangka panjang terhadap komitmen dekarbonisasi nasional.
IESR: Kredibilitas Indonesia Terancam
Institute for Essential Services Reform (IESR) memberikan peringatan keras terhadap rencana pembatalan pensiun dini pembangkit listrik batu bara tersebut.
Lembaga riset energi ini menilai langkah mundur itu akan merusak kredibilitas negara dan memperburuk iklim investasi, mengingat komitmen telah disepakati sejak 2021 dalam kerangka Energy Transition Mechanism (ETM) di COP26 Glasgow.
Chief Executive Officer IESR Fabby Tumiwa menegaskan keengganan eksekutif menunjukkan kemunduran serius komitmen transisi energi.
Menurutnya, keputusan ini bertentangan langsung dengan visi Presiden Prabowo yang ingin meninggalkan energi fosil dalam sepuluh tahun, sebagaimana disampaikan dalam pidato kenegaraan di DPR 15 Agustus 2025.
“Kekhawatiran terhadap biaya pensiun dini yang dianggap tinggi hanya melihat dari biaya kompensasi kontrak belaka dan tidak mempertimbangkan manfaat ekonomi yang lebih besar dari penurunan biaya polusi dan kesehatan publik,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (6/12/2025).
Manfaat Ekonomi 2-4 Kali Lipat Biaya
Pernyataan Fabby didukung data konkret dari kajian organisasi tersebut. Hasil riset membuktikan manfaat pensiun dini PLTU justru 2 hingga 4 kali lebih besar dibanding biayanya.





