Pandangan serupa disampaikan Vitriara Ahsana Nadya yang menilai implementasi Kang Pisman di tingkat rumah tangga masih menghadapi hambatan berulang. Ia menyebut kebingungan aturan pemilahan, anggapan proses yang rumit, serta keterbatasan fasilitas sebagai faktor yang kerap melemahkan partisipasi warga. Karena itu, materi komunikasi dinilai harus ringkas, visualnya konsisten, dan memiliki ajakan tindakan yang jelas agar tidak menimbulkan tafsir berbeda di lapangan.
Sementara itu, Rangga Sucipto menyoroti perbedaan dinamika antarwilayah, khususnya dalam pengelolaan bank sampah dan Kawasan Bebas Sampah (KBS). Menurutnya, pesan Kang Pisman perlu berada dalam satu narasi yang sama, namun cukup lentur untuk disesuaikan dengan konteks kelurahan. Tanpa alur kerja komunikasi yang baku, ia menilai respons terhadap isu persampahan berpotensi lambat dan tidak seragam.
Dari sisi akademik, ketua tim pengabdian masyarakat Telkom University, Dr. Nur Atnan, menegaskan bahwa tantangan utama perubahan perilaku bukan pada aspek pengetahuan, melainkan kemauan dan konsistensi kebiasaan. Ia menilai Kang Pisman sebagai gerakan dari hulu membutuhkan pengulangan pesan lintas kanal yang terkoordinasi dan berkelanjutan.
Pendekatan Community-Based Social Marketing (CBSM) diperkenalkan sebagai kerangka kerja untuk menjawab tantangan tersebut. Ayub Ilfandy Imran menjelaskan bahwa pendekatan ini menitikberatkan pada diagnosa cepat perilaku, perancangan arsitektur pesan, serta produksi materi komunikasi yang terstandar agar ajakan pemilahan sampah tidak berubah-ubah.
M. Al Assad Rohimakumullah menambahkan bahwa toolkit komunikasi tidak cukup diposisikan sebagai kumpulan materi, tetapi juga sebagai sistem kerja yang mengatur alur produksi, kurasi, persetujuan, hingga publikasi pesan. Menurutnya, sistem tersebut penting untuk menjaga kecepatan respons dan konsistensi narasi, terutama saat muncul isu atau misinformasi di ruang digital.





