JABARNEWS | BANDUNG – Nama besar Ema Sumarna , mantan Sekretaris Daerah—resmi dituntut 6 tahun 6 bulan penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak main-main, Ema diduga kuat menyuap hingga Rp 1 miliar demi melancarkan proyek-proyek bernilai tinggi, termasuk program Bandung Smart City yang semula digadang-gadang menjadi wajah masa depan kota.
Namun sayangnya, di balik ambisi digital itu, jaksa justru menemukan jalur uang panas yang mengalir diam-diam di balik meja kekuasaan.
Proyek Masa Depan yang Ternoda Uang Suap
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK membacakan tuntutan tersebut dalam sidang yang digelar Selasa, 10 Juni 2025, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung. Dalam dakwaannya, JPU menyebut Ema memberikan uang suap sebesar Rp 1 miliar untuk memperlancar proyek-proyek strategis di Dinas Perhubungan Kota Bandung. Salah satu proyek yang disorot adalah Bandung Smart City.
Tak hanya itu, JPU juga menyatakan Ema menerima gratifikasi selama menjabat sebagai Sekda, sehingga semakin memperberat tuntutan hukum terhadapnya.
“Selanjutnya menghukum terdakwa Ema Sumarna untuk membayar uang pengganti sebesar Rp676.750.000,00 dikurangkan dengan uang yang dirampas untuk negara,” tegas jaksa dalam persidangan.
Pasal Berlapis, Ancaman Menumpuk
Ema tak hanya dijerat satu pasal. Jaksa menyusun dakwaan kumulatif, yang mencakup pelanggaran terhadap:
- Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
- Pasal 12B jo Pasal 18 UU yang sama,
- Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dengan kombinasi pasal tersebut, jaksa menuntut agar Ema dijatuhi:
- Pidana penjara selama 6,5 tahun,
- Denda Rp200 juta, dengan subsider 6 bulan kurungan, serta
- Uang pengganti sebesar Rp676,75 juta yang harus dibayar maksimal satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap.
Jika Ema gagal membayar uang pengganti, jaksa meminta agar harta bendanya disita dan dilelang. Jika masih belum mencukupi, Ema akan menjalani tambahan hukuman 2 tahun penjara.
Satu Demi Satu Ikut Terseret
Tak hanya Ema yang jadi sorotan. Empat mantan anggota DPRD Kota Bandung juga ikut dituntut dalam kasus ini. Mereka adalah Achmad Nugraha, Riantono, Yudi Cahyadi, dan Ferry Cahyadi. Ketika tuntutan dibacakan, kelimanya tampak tertunduk lesu di hadapan majelis hakim.
Berikut rincian tuntutan bagi para mantan legislator:
Achmad Nugraha, Yudi Cahyadi, dan Riantono: masing-masing dituntut 5 tahun 6 bulan penjara,
Ferry Cahyadi: dituntut 4,5 tahun penjara.
Sikap Tak Kooperatif Jadi Bumerang
Jaksa menyoroti sikap Ema selama proses hukum berlangsung. Dalam pembacaan tuntutan, jaksa menyatakan bahwa Ema tidak mengakui perbuatannya dan dianggap tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang sedang digencarkan pemerintah.
Sebaliknya, jaksa mengakui ada beberapa hal yang meringankan, seperti:
- Sikap sopan selama persidangan,
- Tidak pernah dipidana sebelumnya,
- Memiliki tanggungan keluarga.
Namun tetap saja, sikap defensif Ema selama sidang disebut sebagai faktor pemberat.
“Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, serta tidak mengakui perbuatannya,” ujar jaksa KPK.
Kuasa Hukum Bantah Tuntas: “Fakta di Persidangan Tak Dipertimbangkan!”
Tidak tinggal diam, kuasa hukum Ema Sumarna, Rizky Rizgantara, langsung merespons tegas usai pembacaan tuntutan. Ia menilai jaksa mengabaikan fakta-fakta penting yang terungkap selama sidang, terutama soal tuduhan bahwa Ema memerintahkan pemberian uang kepada anggota DPRD dari APBD Perubahan 2022.
“Dalam persidangan, Dadang Darmawan yang saat itu menjabat sebagai Kadishub secara tegas menyatakan bahwa ia tidak pernah menerima perintah—baik langsung maupun tidak langsung—dari Pak Ema untuk memberikan uang kepada anggota DPRD,” ujar Rizky.
Rizky juga menegaskan bahwa Ema tidak pernah memberikan instruksi apa pun kepada Khairul Rijal terkait aliran dana, meskipun nama Rijal sempat mencuat sebagai perantara.
Lanjut ke Babak Pembelaan
Setelah mendengar tuntutan jaksa, tim kuasa hukum Ema Sumarna langsung bersiap menyusun nota pembelaan (pledoi) yang akan mereka bacakan pada Kamis, 12 Juni 2025.
Di sisi lain, ruang sidang kembali dipenuhi oleh wajah-wajah muram keluarga para terdakwa yang setia mendampingi. Sorotan kamera dan tekanan publik semakin menambah ketegangan dalam setiap detik persidangan. Masyarakat Kota Bandung terus mengamati perkembangan kasus ini dengan mata tajam dan harapan besar akan keadilan.
Dari Smart City Menuju Skandal City
Kasus ini menyisakan ironi yang menyesakkan. Proyek ambisius yang awalnya digadang-gadang sebagai tonggak kemajuan Bandung menuju kota digital, justru tercoreng oleh dugaan praktik suap dan korupsi.
Alih-alih menjadi simbol transparansi dan inovasi, Bandung Smart City berubah menjadi simbol ironi: proyek canggih yang tersandung urusan uang gelap. Kini, publik menanti putusan hakim—akankah vonis nanti membawa pesan keadilan yang tegas, atau justru memperpanjang deretan luka hukum yang belum sembuh? (Red)