“Pemerintah harus bisa memahami bahwa tiap anak punya cara berbeda dalam belajar dan menemukan ide. Jangan disamaratakan,” tuturnya.
Ia menyebutkan bahwa suara penolakan ini bukan hanya datang dari dirinya pribadi, tetapi merupakan representasi dari keresahan banyak orang tua yang tergabung dalam Fortusis Jabar.
Dalam pandangannya, sebelum menetapkan aturan yang membatasi ruang gerak pelajar, pemerintah seharusnya lebih dulu memenuhi tanggung jawab dasarnya dalam menyediakan sarana yang memadai.
“Bangun dulu infrastruktur olahraga, budaya, ruang diskusi, dan tempat yang aman untuk anak berkegiatan, baru kemudian bicara soal aturan. Jangan karena merasa punya kekuasaan, lalu semua bisa diatur sekehendak hati,” kata Dwi.