Proses pendirian museum tak hanya berfokus pada aspek arsip dan konservasi, tetapi juga membuka ruang dialog publik melalui pameran-pameran tematik. Galeri ini menjadi rumah sementara bagi arsip dan karya pilihan sebelum pemindahan koleksi ke bangunan Museum G Sidharta di wilayah Lembang, Bandung Barat.
Menurut Heru Hikayat, spektrum artistik G Sidharta tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya lokal dan eksperimen bentuk yang khas. “Beliau sangat dekat dengan tubuh dan hiasan. Itu menjadi jejak unik dalam narasi seni rupa kita,” jelasnya.
Pembukaan galeri ini juga mendapat apresiasi dari akademisi seni rupa. Dr. Willy Himawan, Ketua Program S1 dan S2 Seni Rupa ITB, menyatakan bahwa galeri ini memberi contoh penting tentang pengelolaan warisan seni oleh komunitas, bukan hanya keluarga. “Ini adalah refleksi sejarah seni rupa Indonesia yang perlu kita rayakan,” katanya.
Keluarga G Sidharta menyambut hangat langkah ini. Paramitha Palupi, cucu G Sidharta yang juga berlatar pendidikan arsitektur, ditunjuk sebagai pengelola data karya sang kakek. Ia memastikan bahwa arsip dari Yogyakarta akan segera diserahkan ke ArtSociates sebagai bagian dari pembangunan sistem dokumentasi museum ke depan.
Peresmian Galeri G Sidharta bukan hanya menandai pembukaan ruang pamer baru, tetapi juga membuka jalan bagi lahirnya museum seni rupa progresif pertama di Indonesia yang dikelola independen oleh komunitas seni, bukan lembaga negara atau keluarga. Momen ini menjadi titik tolak penting dalam upaya merawat sejarah dan mengembangkan wacana seni rupa Indonesia ke arah yang lebih terbuka dan reflektif. (Red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News





