Daerah

Gedung Pusat Kebudayaan Subang Dikritik Mirip Sarang Burung, Begini Penjelasan Arsitek

×

Gedung Pusat Kebudayaan Subang Dikritik Mirip Sarang Burung, Begini Penjelasan Arsitek

Sebarkan artikel ini

JABARNEWS | BANDUNG – Gedung serbaguna pusat kebudayaan Subang milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat di kawasan Hutan Kota Ranggawulung, Kabupaten Subang mendapat kritikan pedas dari berbagai pihak. Pasalnya, bangunan itu terlihat seperti sarang burung, materialnya sendiri menggunakan bambu.

Terlebih anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan gedung kebudayaan ini sebesar Rp33 miliar dan telah digunakan sebesar Rp6 miliar. Gedung kebudayaan ini sendiri dibangun di atas lahan seluas 4 hektar.

Baca Juga:  Antisipasi Hal Ini, KPU Purwakarta Pertimbangkan Dirikan TPS dalam Ruangan

Menanggapi kritikan tersebut, salah seorang Arsitek Studio Akanoma Yu Sing yang terlibat dalam perancangan gedung kebudayaan Subang mengungkapkan bahwa modul pada fasad ruang serba guna didesain dengan deretan bambu mikro.

Tujuannya, lanjut dia, untuk digunakan secara fleksibel dengan berbagai fungsi oleh pengguna yang beraneka ragam.

“Bahkan, kalau mau untuk pasar kuliner dengan menerapkan jaga jarak juga bisa,” kata Yu Sing dikutip dari kompas.com, Minggu (31/01/2021).

Baca Juga:  PWI Kota Bandung Bersama MS Glow dan Vilour Bagikan Takjil Gratis di 2 Titik

Dia menjelaskan, satu ruang bambu pada fasad tersebut bisa digunakan untuk satu keluarga berkumpul. Yu Sing menyebut, prinsip desainnya, fasad berupa ruang, bukan hanya dinding.

Dengan demikian, fasad itu bisa digunakan menjadi galeri, studio teater, toko, atau sekadar ruang duduk yang akrab. Oleh karena itu, dia tidak pernah menyangka jika penggunaan bambu pada gedung kebudayaan Subang dipermasalahkan.

Baca Juga:  Polres Purwakarta Amankan Mahasiswa Terkait Kematian Tidak Wajar Siswi SMP

Menurut Yu Sing, kemandirian arsitektur di Indonesia salah satunya bisa dicapai melalui bambu.

“Apakah bambu sudah tidak berarti di Subang? Sayang sekali kalau salah satu potensi besar tanah Sunda (dan Indonesia) nantinya tidak dikelola dan dikembangkan lebih lanjut,” tutupnya.

Sumber: Kompas

Tinggalkan Balasan