JABARNEWS | PURWAKARTA – Aksi demonstrasi “Indonesia Gelap” yang digelar di depan Gedung DPRD Kabupaten Purwakarta pada Jumat (21/2) lalu menjadi sorotan publik. Namun, bukan hanya karena tuntutan yang disuarakan, tetapi juga karena seorang orator perempuan yang lantang menyampaikan aspirasi justru mendapat serangan komentar seksis di media sosial.
Dalam aksi tersebut, video dan foto seorang mahasiswi yang dengan tegas menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah beredar luas di berbagai platform media sosial.
Alih-alih mendapatkan tanggapan terkait substansi yang disampaikannya, seorang netizen (@Ju*******) justru menuliskan komentar, “Yang cewek tuh suruh nikah ajah”, menunjukkan betapa masih kuatnya pandangan patriarki dalam melihat peran perempuan di ruang publik.
Komentar ini memicu reaksi keras dari netizen, terutama mereka yang menyoroti bias gender dan seksisme yang masih mengakar dalam masyarakat. Seorang pengguna X (Twitter) dengan akun @tok****** menulis:
“Setiap ada kritik politik, terutama yang melibatkan perempuan, pasti ada saja yang nyerempet ke ‘suruh nikah aja’, seolah itu satu-satunya takdir perempuan. Ini bukan sekadar seksisme, tapi sistematis untuk meremehkan suara perempuan dan mengalihkan isu dari substansi ke omong kosong patriarki.”

Kritik terhadap Seksisme di Ruang Publik
Seorang wartawan perempuan di Purwakarta, Monna, turut angkat bicara terkait fenomena ini. Menurutnya, komentar-komentar seperti itu mencerminkan ketidaknyamanan sebagian masyarakat terhadap perempuan yang berdaya dan berani bersuara.
“Ini adalah bentuk nyata dari ketakutan terhadap perempuan yang memiliki suara. Ketika perempuan berdiri dan berbicara lantang, terutama di ruang yang didominasi laki-laki, ada upaya sistematis untuk merendahkan dan mengalihkan perhatian dari substansi yang mereka sampaikan. Komentar ‘suruh nikah aja’ adalah cara untuk mengembalikan perempuan ke ranah domestik, seolah ruang publik bukanlah tempat mereka,” ujarnya, Selasa (25/2/2025).
Monna juga menambahkan bahwa kehadiran perempuan dalam demonstrasi maupun politik kerap menghadapi tantangan ganda. Selain menghadapi reaksi dari pihak yang dikritik, mereka juga harus berjuang melawan stigma sosial.
“Gerakan kesetaraan gender telah membuka lebih banyak ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik dan kebebasan berpendapat. Namun, komentar seperti ‘suruh nikah aja’ menunjukkan bahwa perjuangan masih panjang,” katanya.