Perempuan dan Demokrasi
Hal senada diungkapkan oleh pengamat sosial, Agus Yasin. Ia menyoroti bahwa pola semacam ini sering digunakan untuk mendiskreditkan perempuan yang aktif bersuara, baik di dunia politik maupun ruang publik lainnya.
“Alih-alih menanggapi kritik dengan argumen yang relevan, sebagian masyarakat justru memilih menyerang identitas dan status sosial perempuan, seakan-akan peran mereka tidak lebih dari sekadar menjalankan kehidupan domestik,” terangnya.
Menurut Agus Yasin, komentar seperti “suruh nikah aja” merupakan strategi untuk mendelegitimasi suara perempuan dan menganggap bahwa tempat mereka hanya di ranah rumah tangga.
“Ketika perempuan mulai mengambil ruang dan bersuara, ada upaya untuk menekan mereka kembali ke peran tradisional. Ini adalah cara untuk mengalihkan pembicaraan dari isu sebenarnya dan meremehkan perempuan,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa seharusnya fokus utama dalam diskusi publik adalah substansi dari kritik yang disampaikan, bukan gender dari pembicara.
“Ketika kita mulai menyerang pribadi, terutama berbasis gender, itu menunjukkan kelemahan dalam berargumen,” katanya.
Menurut Agus Yasin, perempuan yang bersuara tidak seharusnya dibungkam dengan komentar seksis.
Dalam demokrasi yang sehat, lanjutnya, setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat tanpa terhalang oleh bias gender dan patriarki yang masih mengakar.
“Perempuan juga memiliki hak untuk berpendapat dan berpartisipasi dalam politik. Komentar seksis semacam itu tidak hanya merendahkan perempuan, tetapi juga merusak demokrasi,” pungkas Agus Yasin.