Daerah

Prof. Acep Iwan Saidi: Jokowi Kini CEMAS Jadi Tawanan dari Citra yang Ia Ciptakan Sendiri

×

Prof. Acep Iwan Saidi: Jokowi Kini CEMAS Jadi Tawanan dari Citra yang Ia Ciptakan Sendiri

Sebarkan artikel ini
Prof. Acep Iwan Saidi: Jokowi Kini CEMAS Jadi Tawanan dari Citra yang Ia Ciptakan Sendiri
Prof. Acep Iwan Saidi saat diwawancarai tentang citra politik Jokowi. Ia menilai, di balik ketenangan Jokowi, tersimpan kecemasan mendalam terhadap bayangan citra yang ia bangun sendiri.

JABARNEWS | BANDUNG – Di tengah sorotan publik yang kian tajam, Joko Widodo tampil tenang—seolah tak terusik oleh gelombang kritik. Namun di balik citra yang dikemas rapi lewat algoritma digital, pakar semiotika ITB Prof. Dr. Acep Iwan Saidi, S.S., M.Hum. melihat paradoks: Jokowi justru cemas menjadi tawanan dari wacana yang diciptakannya sendiri

Tapi di saat yang sama, ia membaca gejala lain: kegelisahan batin yang tak bisa lagi disembunyikan di balik senyum dan simbol kesederhanaan. Citra yang dulu mengangkatnya ke puncak kini berubah menjadi beban psikologis. Jokowi, kata Acep, tengah terperangkap dalam labirin pencitraannya sendiri—antara kecemasan, kekuasaan, dan algoritma yang tak lagi ia kendalikan.

Dari Penguasa Wacana Menjadi Tawanan Algoritma

Menurut Acep, Jokowi dan timnya sangat memahami cara kerja dunia digital. Mereka sadar, opini publik dapat dikontrol lewat narasi dan visual yang terus diproduksi.

“Dia itu tidak memikirkan apa kata orang. Yang penting dia menguasai wacana di dunia digital dan semakin populer meski dalam penilaian buruk oleh publik,” ujar pria yang akrab disapa Ais.

Namun, strategi itu kini berubah arah. Popularitas yang dulu menguatkan kini justru membelenggu. “Dia membiarkan itu berlangsung hingga kini,” lanjut Acep.

Dalam pandangan semiotik, Jokowi telah kehilangan kendali atas tanda dan simbol yang dulu ia ciptakan sendiri. Citra yang dulu alat politik kini menjadi jerat.

Kini, setelah 10 tahun berkuasa, Jokowi kembali menjadi rakyat biasa. Kekuasaan yang pernah ia genggam berubah menjadi kenangan, sekaligus bayang-bayang masa lalu yang panjang. Sepuluh tahun itu, menurut banyak pengamat, menjadi masa penuh kontradiksi—antara harapan dan kekecewaan, antara citra kerakyatan dan praktik kekuasaan yang dianggap kelam.

Baca Juga:  Rompi Oranye Lagi... Hajar Terus!!!

Citra Politik yang Retak

Bagi Acep, masa kejayaan pencitraan Jokowi berakhir sejak 2019. “Kan pencitraan dia itu selesai di 2019 kemarin,” katanya tegas.
Menurutnya, puncak citra Jokowi terjadi di 2014—saat ia meluncurkan Nawacita dan Tol Laut.
Program-program itu dikemas sebagai visi kerakyatan, namun bagi Acep, semuanya hanyalah “bahasa kosong”.

“Publik saat itu memang terbuai. Bahkan sosok sekualitas Gunawan Muhammad bisa tertipu,” ujar pengajar di Fakultas Seni Rupa & Desain (FSRD) ITB ini.

 

Kini publik mulai jenuh. Imaji kesederhanaan yang dulu memikat telah kehilangan daya sihirnya. Jokowi tak lagi dibicarakan sebagai simbol harapan, melainkan sebagai pusat kekuasaan yang penuh perhitungan.

Bahkan setelah turun dari tampuk kekuasaan, bayangan masa lalunya masih mengikuti. Nama Jokowi tetap menggema—bukan karena prestasi baru, tapi karena warisan kontroversi dari masa pemerintahannya.

Salah satu yang paling diingat publik adalah kebohongan besar tentang mobil Esemka. Jokowi sempat menjanjikan kendaraan nasional itu akan menjadi kebanggaan Indonesia, namun hingga kini tak pernah terealisasi nyata.

“Jokowi memang terlalu banyak berbohong. Tidak tanggung-tanggung. Mulai dari omong kosong ribuan mobil Esemka dan yang lainnya,” kata Pa Ais.

Yang lebih parah, menurutnya, adalah pengkhianatan terhadap PDIP, partai yang telah membesarkan dan mengantarkannya menjadi presiden.

“Namun yang paling parah adalah ketika dia menelikung PDIP. Terlepas bagaimana itu PDIP, dia berani mengkhianati partai yang membesarkannya,” ujarnya lagi.

Kekuasaan yang Otoriter dan Oligarkis

Di periode keduanya, kata Acep, Jokowi tak lagi berperan sebagai simbol rakyat kecil. Ia berubah menjadi figur kekuasaan yang tak segan mengendalikan sistem demi kepentingan politik.

Baca Juga:  Kapolri Jendral Pol Idham Azis Apresiasi Kinerja Jajaran Korlantas

“Di 2024 itu, Jokowi menunjukkan aslinya. Dia jadi otoriter karena merasa sudah selesai,” ucapnya.

Menurut Acep, Jokowi memanfaatkan kekuasaan untuk mengubah undang-undang, memperkuat posisi aparat, dan memelihara oligarki.

“Dengan kekuasaan itu dia memanfaatkan orang, mengubah undang-undang dan peraturan, menyandera, menggunakan oligarki yakni para pemodal. Menjadikan polisi sangat dominan,” katanya.

Ia bahkan menambahkan, “Orang-orang dia beli, bahkan hingga level tertinggi. Semua dia beli.”

Pernyataan ini menegaskan betapa kekuasaan Jokowi, di penghujung masa jabatan, lebih banyak diwarnai kontrol dan konsolidasi, bukan lagi inspirasi.

Dan kini, ketika kursi itu telah berpindah ke generasi berikutnya, Gibran Rakabuming Raka, putra sulungnya yang kini menjabat wakil presiden, justru menanggung bayangan dari masa kekuasaan sang ayah.

Gibran dan Dosa Turunan Politik

Acep menilai, citra Gibran tak bisa berdiri sendiri dan tak lepas dari sosok ayahnya. “Sosok Gibran sulit mengangkat dirinya seperti sang ayah. Imbas publik yang membenci Jokowi, mau tidak mau berimbas terhadap Gibran,” ujarnya.

Menurutnya, Gibran memang tidak memiliki kecerdasan politik setajam Jokowi. “Kapabilitas sosok Gibran sendiri mungkin kurang dalam kecerdasan. Sehingga timnya tidak bisa memoles lebih banyak,” kata Acep.

Ia menggambarkan gaya Gibran yang “apa adanya”, sering kali melontarkan pernyataan yang tidak sesuai harapan publik. “Akhirnya label ‘asam sulfat’ pun masih melekat untuk membully wapres Prabowo ini,” ujarnya.

Acep bahkan menyebut hal itu sebagai “dosa turunan politik”—warisan beban publik yang tak bisa dihapus begitu saja. Citra Jokowi yang dulu dibangun dengan susah payah kini justru menjadi batu sandungan bagi anaknya sendiri.

Bayang-Bayang Psikologis dan Simbol Raja Jawa

Meski tampil percaya diri, Acep menilai Jokowi tengah bergulat dengan dirinya sendiri.

Baca Juga:  Seorang Pemuda di Purwakarta Tewas Tertabrak Kereta Api, Kondisinya Mengerikan

“Dia tampak sakit. Artinya secara psikis, Jokowi sudah kalah dengan kondisi itu,” ujarnya.

Menurutnya, tubuh Jokowi kini memantulkan tekanan batin yang berat. “Dia sangat cemas sekali. Sakit yang menimpa tubuhnya tidak bisa bertahan secara psikologis,” katanya.

Beberapa pihak menyebut kondisi itu sebagai “kutukan”. Namun Acep melihatnya sebagai akibat dari kebohongan yang menumpuk selama berkuasa.

“Sejak awal kepemimpinannya, Jokowi telah merasakan apa yang akan menyiksa dirinya secara batin karena kebohongan-kebohongan yang telah dilakukannya,” ujarnya.

Acep juga menyinggung upaya tim Jokowi membentuk citra ala raja Jawa. “Timnya memahami sejarah raja-raja Jawa. Namun Jokowi berbeda dengan Ken Arok. Meski tampak tenang, sebenarnya dia sangat cemas,” ucapnya.

Kini, setelah tidak lagi menjadi presiden, citra “raja Jawa” itu perlahan memudar. Jokowi kembali menjadi rakyat biasa, tapi jejak kekuasaan selama sepuluh tahun masih menempel erat di benak publik—sebagai bab penuh kontradiksi sebagai salah satu sejarah politik yang buruk di Indonesia.

Cermin Pelajaran Bangsa 

Acep menegaskan, kisah Jokowi harus menjadi pelajaran bagi bangsa ini. “Ini jadi pelajaran untuk bangsa kita ketika memilih seorang pemimpin,” katanya.

Jokowi besar karena citra yang dibangun dari bawah. Namun citra itu kini retak oleh kekuasaan yang menelan dirinya.

Sepuluh tahun kekuasaan yang penuh drama, pencitraan, dan manipulasi wacana kini berakhir dengan keheningan. Jokowi mungkin masih menguasai panggung digital, namun di balik layar, ia tampak lelah—dan cerminnya mulai retak oleh pantulan citra yang ia bangun sendiri dan jadi pelajaran untuk bangsa.(Red)