Lebih dari itu, ia menyebut adanya dugaan pelanggaran dalam proses pengalihan sertifikat rumah.
“Cicilan KPR kami tetap berjalan, tapi unit rumah tidak pernah ada. Sertifikat pun diduga dijadikan agunan di bank lain tanpa persetujuan kami. Sementara notaris dan bank saling melempar tanggung jawab. Ini pelanggaran hukum dan etika,” ujarnya.
Paguyuban mencatat, puluhan konsumen telah menyelesaikan kewajiban pembayaran pajak pembeli dan biaya Akta Jual Beli (AJB), namun tak satu pun yang menerima rumah sebagaimana ditawarkan dalam materi promosi resmi pengembang.
Laporan juga telah diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 2 Jawa Barat. Namun, menurut Alfon, lembaga pengawas tersebut hanya berperan sebagai penengah tanpa menghasilkan solusi nyata.