“KBR bukan hanya tempat tinggal bebas rentenir, tapi juga ruang edukasi, informasi, pemberdayaan ekonomi, bahkan potensi wisata lokal,” kata Farhan.
Setiap titik KBR mendampingi minimal 40 warga binaan, baik yang pernah terjerat rentenir maupun yang rentan. Mereka didampingi untuk meningkatkan literasi keuangan dan akses terhadap skema produktif, termasuk bantuan sosial berbasis NIK melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Dalam pengembangannya, KBR mengadopsi model hexahelix, melibatkan pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, media, dan lembaga keuangan. Mitra kolaborasi mencakup Unisba, UPI, Baznas, LPM, OJK, bahkan institusi keagamaan seperti Gereja dan TPA Qurataayun.
“Kami ingin semua kelompok rentan ini terdata dan terakses secara sistemik. Ini bukan hanya program, tapi gerakan kolektif,” tegas Farhan.
Dua lokasi awal KBR, yaitu Ujungberung dan Sukajadi, kini menjadi tolok ukur untuk pengembangan di kecamatan lain. Pemerintah juga menjadikan Musrenbang sebagai ruang strategis untuk menyerap aspirasi dan mengarahkan program ke wilayah-wilayah yang rentan.