“Ini adalah bentuk nyata dari ketakutan terhadap perempuan yang memiliki suara. Ketika perempuan berdiri dan berbicara lantang, terutama di ruang yang didominasi laki-laki, ada upaya sistematis untuk merendahkan dan mengalihkan perhatian dari substansi yang mereka sampaikan. Komentar ‘suruh nikah aja’ adalah cara untuk mengembalikan perempuan ke ranah domestik, seolah ruang publik bukanlah tempat mereka,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat sosial dan politik di Purwakarta, Agus Yasin, menegaskan bahwa perempuan yang bersuara tidak seharusnya dibungkam dengan komentar seksis.
“Dalam demokrasi yang sehat, setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat tanpa terhalang oleh bias gender dan patriarki yang masih mengakar. Komentar seksis semacam itu tidak hanya merendahkan perempuan, tetapi juga merusak demokrasi,” tegasnya.
Kesetaraan Gender dan Regulasi yang Sudah Ada
Anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat Zaini Shofari menekankan pentingnya kesetaraan gender di ruang publik. Ia menyebut bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan sering kali hanya merupakan tafsir sosial yang didasarkan pada budaya patriarki.
“Kita sejak lama mengenal dunia patriarki. Sering kali peran laki-laki dan perempuan dibedakan hanya berdasarkan konstruksi sosial. Padahal, di ruang-ruang publik tidak ada lagi perbedaan mendasar antara keduanya,” kata Zaini.
Ia menambahkan bahwa saat ini berbagai regulasi telah membuka peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi lebih luas di sektor publik. Salah satunya adalah kebijakan kuota 30 persen bagi perempuan dalam pemilu. Selain itu, sejumlah institusi seperti Komnas HAM dan KPAI juga menyertakan perempuan dalam posisi strategis.
Terkait dengan Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat No. 2 Tahun 2023 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, Zaini menegaskan pentingnya edukasi kepada masyarakat untuk menghilangkan stereotip terhadap perempuan.
Ia juga menyoroti bagaimana perempuan masih sering dijadikan objek eksploitasi dalam iklan dan media.
“Kita harus terus memberikan edukasi agar perempuan tidak lagi dipandang sebagai objek komersial. Budaya patriarki masih tertanam di masyarakat, dan ini perlu diubah melalui pendekatan yang lebih moderat dan seimbang,” tambahnya.(hen/rnu)