JABARNEWS | BANDUNG – Sidang eksepsi kasus dugaan pemalsuan surat dengan terdakwa tokoh media asal Bandung, Arifin Gandawijaya, kembali digelar di Pengadilan Negeri Bandung, Senin (11/8/2025). Sidang dipimpin Majelis Hakim Dodong Iman Rusdani dan menghadirkan langsung Arifin di ruang persidangan.
Dalam momen itu, Arifin memilih menyerahkan seluruh pembelaan kepada tim kuasa hukumnya. “Saya bukan orang hukum, jadi saya limpahkan ke tim hukum saya. Itu cukup,” ujarnya singkat namun tegas. Ia juga membantah tuduhan pemalsuan dokumen yang menjeratnya.
Bantah Pemalsuan, Ungkap Kronologi Versinya
Arifin menjelaskan, sejak awal penyidikan, ia tidak pernah mendapat penjelasan yang jelas dari pihak kepolisian mengenai tuduhan tersebut. Menurutnya, dakwaan pemalsuan surat yang disampaikan jaksa bertentangan dengan hasil pemeriksaan Laboratorium Kriminal.
Dari enam tanda tangan di dokumen yang dipermasalahkan, empat di antaranya identik dengan tanda tangan asli. “Kalau empat tanda tangan identik, berarti yang tahu membuatnya siapa? Jelas bukan saya. Kecuali semuanya palsu,” katanya.
Ia mengungkapkan dokumen itu ia terima pada 2015 dari notaris melalui pengacaranya, Thomson. Sebagai pembeli, ia mengaku telah memenuhi kewajiban pembayaran sesuai kesepakatan. “Ngapain bikin surat palsu? Cari perkara saja. Ini sudah jelas terang benderang, tapi kenapa saya yang harus di-DP 21, itu yang jadi pertanyaan,” tambahnya.
Tudingan Fitnah dan Harapan Eksepsi Diterima
Arifin menilai ada pihak lain yang mencoba melempar kesalahan kepadanya. Ia bahkan menyebut dirinya menjadi korban fitnah. “Pelakunya sudah jelas, kok harus menyalahkan orang lain? Saya malah kena fitnahnya,” ujarnya di hadapan majelis hakim.
Tim kuasa hukum yang dipimpin Hotma Bhaskara Nainggolan menyampaikan eksepsi dengan argumentasi bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak cermat, tidak lengkap, dan kabur (obscuur libel). Mereka menegaskan perkara ini murni sengketa perdata terkait kepemilikan tanah antara Arifin dan ahli waris almarhum Djedje Adiwiria, bukan tindak pidana.
Tim hukum memaparkan sejumlah putusan perdata, mulai dari Pengadilan Negeri hingga Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, yang dinilai menguatkan posisi Arifin sebagai pemilik sah tanah tersebut. Mereka juga menyoroti hasil pemeriksaan Puslabfor Bareskrim Polri yang menyatakan tanda tangan ahli waris identik dengan pembanding, berbeda dengan dakwaan JPU.
Selain itu, tim kuasa hukum menyebut kliennya sama sekali tidak mengetahui dugaan pemalsuan surat. Dokumen tersebut, kata mereka, berasal dari notaris dan diterima melalui pengacara saat itu.
Dakwaan Jaksa dan Ancaman Hukuman
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Arifin telah memalsukan dokumen transaksi. Berdasarkan hasil Laboratorium Forensik Bareskrim No. 3109/dcf/2024, sebagian tanda tangan korban dinyatakan identik, sementara sebagian lainnya non-identik.
Atas perbuatannya, jaksa menjerat Arifin dengan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pemalsuan surat. Ancaman hukuman maksimal yang dihadapi adalah enam tahun penjara.
Jaksa juga menyebut korban mengalami kerugian hingga Rp2 miliar akibat dugaan pemalsuan dokumen tersebut.
Dalam eksepsi, pihak Arifin memohon agar majelis hakim menerima keberatan yang diajukan, menyatakan PN Bandung tidak berwenang mengadili perkara ini, dan membatalkan dakwaan JPU. Jika majelis hakim berpendapat lain, tim kuasa hukum meminta putusan yang seadil-adilnya.(Red)