“Wah,” saut Adila mendengar hal tersebut. Namun, ia sambil menerima kenyataan pahit bahwa ia turut bersilat lidah dalam adu stigma pada berolahraga.
Cari perhatian dan validasi menjadi rapalan jendela bagi dunia maya Adila. Lekukan dan bentuk tubuh idealnya menjadi bahan gerutuan. Tak jarang, stigma buruk berolahraga dirinya mendapatkan cemoohan di realita.
Adila tak segan berperang dengan stigma tersebut. Baginya, mengolah raga selalu menjadi pelabuhan refleksi untuk dirinya. Mengenal batas kebutuhan fisiknya, hormonnya, dan batinnya bisa ia dapatkan melalui berolahraga. Hal tersebut penting bagi Adila karena ia ingin lebih berempati terhadap kebutuhan raga dan jiwanya.
Selain mengolah raga dan mengolah jiwa, berolahraga juga upaya bagi dirinya untuk menjadi manusia. Ia belajar berjuang dan menghargai waktu sebaik mungkin melalui rasa sakit. Setelahnya, ia berkabung dan menikmati rasa syukur pemberian dari Tuhan.
Mengolah raga berarti mengolah jiwa, setidaknya itu yang ia yakini. Ia menocba untuk tak mengeluh pada padatnya dunia, tetapi ia hanya butuh mengenal dirinya dalam ruang yang penuh hiruk pikuk. “Lagian, badan bisa bagus juga jadi bonus,” tutupnya.(*)
Penulis: Daffa Aulia Ahmad
*) Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta