Oleh: Moh. Fajar Shiddiq Permana (Humas BKBH PP Persis)
JABARNEWS – Musyawarah dalam Islam adalah media sakral untuk menyalurkan amanah, bukan alat untuk merampas kekuasaan. Sayangnya, dalam beberapa konteks kontemporer, musyawarah justru berubah wajah: dari forum untuk menegakkan keadilan menjadi panggung politik untuk menggulingkan pemimpin yang sah. Ironisnya, semua itu dibungkus dengan jargon “kebersamaan” dan “ijtihad kolektif”.
Dalam pandangan saya, yang berasal dari disiplin Ilmu Komunikasi Islam dan Komunikasi Bisnis, fenomena ini adalah bentuk kegagalan komunikasi strategis sekaligus distorsi nilai syura yang telah diwariskan Islam sejak zaman kenabian.
Dalam Islam, pencopotan pemimpin memiliki syarat yang sangat ketat. Rasulullah SAW bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti dari Allah tentang hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka usaha mencopot pemimpin yang sah adalah bentuk pemberontakan (bughat) yang merusak tatanan umat.
Al-Qur’an juga menekankan prinsip amanah dalam kepemimpinan “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa: 58).