Seperti kata filsuf John Stuart Mill, semakin luas kebebasan berekspresi dibuka dalam masyarakat, maka peradaban tersebut akan semakin maju. Tapi kemajuan itu hanya bisa tercapai jika kebebasan tersebut tidak melanggar hak orang lain.
Seorang mahasiswa dengan lantang berorasi, “Kami hadir di sini bukan untuk kepentingan kelompok, tetapi untuk menegakkan keadilan dan memperjuangkan nasib rakyat Indonesia.”
Sebuah pernyataan sederhana yang sebenarnya mencerminkan pemahaman mendalam tentang esensi demokrasi.
Para ahli politik seperti Melvin I. Urofsky menyebut bahwa salah satu prinsip dasar demokrasi adalah hak masyarakat untuk tahu dan menilai kinerja pemerintahannya.
Itulah yang dilakukan mahasiswa Purwakarta, mereka berusaha mendapatkan informasi, menyebarluaskannya, dan mendiskusikannya secara terbuka.
Yang tak kalah penting adalah respons para pejabat Purwakarta. Ketua DPRD Sri Puji Utami dan Kapolres AKBP I Dewa Putu Gede Anom Danujaya menunjukkan bagaimana seharusnya negara bersikap terhadap aspirasi rakyat.
Mereka tidak hanya memberi ruang bagi ekspresi dalam menyalurkan aspirasi, tetapi juga memfasilitasi dialog yang konstruktif.
Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 9 Tahun 1998 yang mewajibkan aparatur pemerintah untuk melindungi hak asasi manusia dan menyelenggarakan pengamanan saat ada penyampaian pendapat di muka umum.
Bukan sekadar pengamanan fisik, tapi juga menciptakan ruang dialog yang aman dan produktif.
Ketika Hukum dan Hati Bertemu
Aksi demo di Purwakarta yang berjalan damai dan kondusif sebenarnya bukan kebetulan. Semua pihak memahami dengan baik aturan main yang berlaku.
Para mahasiswa tahu bahwa mereka memiliki hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3 untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Namun mereka juga paham bahwa hak tersebut harus dijalankan dengan memperhatikan ketertiban dan kepentingan umum.
Dalam hukum hak asasi manusia, kebebasan berpendapat memang termasuk kategori hak yang dapat dibatasi (derogable right), berbeda dengan hak hidup atau hak bebas dari penyiksaan yang bersifat mutlak (non-derogable right).
Pembatasan ini bukan untuk membungkam, tapi justru untuk memastikan kebebasan satu orang tidak merampas kebebasan orang lain.
Mahasiswa Purwakarta membuktikan bahwa pembatasan ini bukan pengekangan, melainkan panduan untuk menyampaikan aspirasi secara efektif.
Mereka menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah, namun tetap menghormati kehormatan personal. Mereka membakar ban sebagai simbol protes, namun tidak membakar gedung atau fasilitas umum.
Prinsip keseimbangan ini juga tercermin dalam instrumen hukum internasional yang dianut Indonesia. Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights – 1948) menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap orang.
Namun Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) juga menegaskan bahwa pelaksanaan hak ini membawa tanggung jawab khusus untuk menghormati hak orang lain dan menjaga ketertiban umum.
Inilah yang dipahami mahasiswa Purwakarta. Mereka menjalankan hak konstitusionalnya dengan penuh kesadaran bahwa kebebasan sejati bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.
Pesan yang Mengalir dalam Kedamaian
Aksi demo mahasiswa di Purwakarta memberi pelajaran berharga: suara rakyat yang paling kuat adalah suara yang disampaikan dengan kepala dingin dan hati yang jernih. Ketika emosi dikendalikan dan dialog dibuka, aspirasi dapat mengalir lancar dari tingkat daerah hingga nasional.