Namun berdasarkan audit internal dan kajian lapangan, sebagian besar dari total sekitar 1.190 hektare lahan tersebut tidak lagi tercatat dalam sistem Barang Milik Negara (BMN).
Menurut Iskandar, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2022–2023 menyebutkan hanya 18 persen dari lahan itu yang masih terdata sebagai BMN. Sisanya telah berubah fungsi menjadi kawasan komersial, termasuk gedung perkantoran dan pusat bisnis, tanpa ada prosedur pelepasan aset negara secara formal.
Situasi ini, lanjutnya, berpotensi berdampak pada penerimaan negara. Beberapa lokasi seperti SCBD dan kawasan GBK diketahui memiliki nilai sewa tahunan yang signifikan, namun belum tercermin dalam laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Lebih jauh, IAW mengidentifikasi sejumlah pola yang berkontribusi pada peralihan kepemilikan tersebut. Di antaranya adalah proses administrasi yang belum terintegrasi, kekeliruan dalam pencatatan historis, serta dokumen hak guna yang terbit tanpa acuan peta resmi era pembelian lahan.
Sebagai contoh, disebutkan bahwa penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas area tertentu dilakukan tanpa merujuk peta dasar yang digunakan negara pada periode 1959–1962. Selain itu, beberapa institusi terkait disebut belum sepenuhnya mencatat aset tersebut dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).