Bhima mengungkapkan pihaknya telah menelaah seluruh indikator yang disampaikan BPS, namun menemukan sejumlah perbedaan signifikan. Salah satunya, klaim BPS bahwa industri manufaktur tumbuh tinggi padahal Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur justru tercatat kontraksi.
“Porsi manufaktur terhadap PDB juga rendah, yakni 18,67 persen dibanding kuartal I 2025 yang sebesar 19,25 persen. Artinya, deindustrialisasi prematur terus terjadi. Data PHK (pemutusan hubungan kerja) massal terus meningkat dan industri padat karya terpukul oleh naiknya berbagai beban biaya. Jadi, apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68 persen yoy?” kata Bhima.
Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda juga menilai ada kejanggalan lantaran pertumbuhan kuartal II 2025 justru lebih tinggi dibanding kuartal sebelumnya yang bertepatan dengan momen Ramadan dan Idulfitri. Padahal, secara historis, periode tersebut biasanya mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar.
Ekonomi Indonesia di kuartal I 2025 hanya tumbuh 4,87 persen secara tahunan. Nailul menyebut hal ini sebagai anomali yang patut ditelusuri.
Sementara itu, Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS Media Wahyu Askar menyoroti potensi intervensi dalam penyusunan data oleh BPS yang dinilai bertentangan dengan prinsip dasar statistik resmi (fundamental principles of official statistics).