Dokumen pengadaan (term of reference) bahkan diubah atas permintaan EL, dengan persyaratan khusus bahwa hanya penyedia yang telah menjalani POC maksimal dua bulan sebelumnya yang diperbolehkan ikut tender. Ketentuan ini menyebabkan lelang menjadi tidak kompetitif dan sekadar formalitas.
“Ya sudah jelas, kan, yang menang itu yang mana. Produk yang mana. Karena yang lainnya kan tadi tidak melakukan proof of concept. Tidak melakukan uji teknis, seperti itu,” lanjut Asep.
KPK juga mengungkap adanya manipulasi Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang tidak berdasarkan harga dari prinsipal (produsen), melainkan dari vendor yang sudah ditentukan sebelumnya. Skema mark-up harga digunakan untuk menaikkan nilai proyek.
Skema pengadaan EDC BRI dibagi dalam dua metode: sewa dan beli putus. Untuk sewa, BRI membayar sekitar Rp1,25 triliun selama 2021–2024. Namun seluruh pekerjaan disubkontrakkan oleh EL kepada pihak lain, sambil mengambil keuntungan dari markup.
Untuk skema beli putus, berlangsung pada 2020–2024, dengan nilai proyek Rp942,7 miliar untuk 346.838 unit EDC. Dalam proses ini, KPK menemukan adanya gratifikasi kepada pejabat BRI, termasuk uang Rp525 juta, sepeda, dan seekor kuda yang diterima oleh CBH dari EL.





