Potensi Likuifaksi Di Bandung, Ini Penjelasan Peneliti Puslit Geoteknologi LIPI

JABARNEWS | BANDUNG – Potensi likuifaksi di Kota Bandung hingga kini masih antara mungkin dan tidak mungkin terjadi.

Pernyataan itu disampaikan Peneliti Puslit Geoteknologi LIPI, Adrin Tohari,  saat menjadi pembicara diskusi “Potensi Likuifaksi di Wilayah Cekungan Bandung”, di Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, Kamis (25/10/2018).

Adrin memaparkan, ada empat manifestasi likuifaksi mulai dari semburan pasir (sand boiling), perpindahan lateral (lateral spreading), penurunan tanah (ground settlement), dan aliran tanah (flow movement).

“Kalau di Palu kemarin itu manifestasi likuifaksi aliran tanah,” ujar Adrin.

Sementara untuk potensi likuifaksi di Cekungan Bandung harus dilihat dari perspektif yang luas. Mulai dari syarat tanah harus mengandung pasir, potensi gempa besar minimal 6 SR, dan percepatan getaran yang diakibatkan gempa 0,1 g.

Baca Juga:  Ketua PBNU: Masalah Sampah Tak Cukup Diurus Satu Direktorat, Perlu Dikaji

Dilihat kondisi Cekungan Bandung, salah satunya adalah Kota Bandung. Jenis material tanah di kawasan ini berasal dari endapan danau purba berupa tanah lempung atau batuan tidak padat.

Hal itu, menurutnya, sudah dipastikan melalui penelitian yang ia lakukan belum lama ini.

“Kondisi kegempaan, Sesar Lembang yang panjangnya 29 km dari Gunung Batu Lembang sampai Cimeta Padalarang itu aktif dan kalau tiba-tiba gempa besarnya 6,8-7 SR. Kemudian gempa itu kecepatannya bisa sampai 0,4 g di batuan dasar dan bisa lebih besar kalau merambat ke tanah,” jelasnya.

Masih kata Adrin, Kota Bandung masih memiliki potensi likuifaksi. Dari hasil analisis potensi likuifaksi terdapat tiga daerah yang memiliki indeks terbesar yakni Rancanumpang (17,67 IL), Sukapura (11,71 IL), dan Cipamokolan (10,34 IL).

Baca Juga:  Pesawat Tempur F-5 Tiger Kini Hadir di Taman Lalu Lintas Bandung

“Itu kemungkinan. Jadi bedakan kemungkinan dengan yang pasti, karena ini bentuknya indeks. Yang perlu kita waspadai itu adalah dampaknya (manifestasi likuifaksi) apakah berupa semburan atau penurunan tanah,” ucapnya.

Dari hasil perhitungannya, kemungkinan besar manifestasi likuifaksi yang terjadi adalah penurunan tanah kurang dari 15 cm jika diasumsikan gempa 6,8 SR dan percepatan gempa 0,4g.

“Kalau indeks penurunan tanah besar, itu yang perlu kita mitigasi. Kalau kecil, itu resikonya kecil juga,” katanya.

Meski begitu ia tetap menyarankan langkah antisipasi dilakukan. Sebab dari penelitian yang ia lakukan saat gempa di Padang tahun 2009, rata-rata terjadi penurunan tanah akibat likuifaksi sebesar 40 cm.

Baca Juga:  Kemenkum HAM Jabar: "Pelesiran" Napi Jangan Terulang Lagi

Ia menyarankan untuk mengantisipasi dampak likuifaksi, warga bisa membangun rumah mirip rumah panggung. Sebab ketika terjadi likuifaksi akan terjadi semburan air bertekanan tinggi yang bisa merusak lantai dengan mudah.

“Kita harus meninggikan lantai dari permukaan tanah. Kalau saya belajar dari Padang (ditinggikan) sekitar setengah meter. Kita beri ruang kosong atau berangkal agar tekanan air lepas ke ruang kosong dan tidak merusak rumah,” ujarnya.

Selain itu, pondasi yang dibuat juga dengan sistem ikat tidak tertanam ditanah.

“Kita lihat di Jepang pondasi itu di atas tanah tidak dicor. Seperti rumah panggung, di atas tanah bukan di dalam tanah,” ujar Adrin. (Vie)

Jabarnews | Berita Jawa Barat