“Ini bentuk baru komodifikasi kehidupan sosial ketika aktivitas sehari-hari berubah menjadi barang dagangan. Citra diri seseorang diperlakukan sebagai produk yang dijual,” ujarnya, mengaitkannya dengan konsep kapitalisme digital ala Shoshana Zuboff, di mana data pribadi menjadi komoditas bernilai tinggi.
Lebih lanjut, ia mengutip pemikiran Susan Sontag, yang menyebut bahwa setiap tindakan memotret adalah bentuk kekuasaan, karena fotografer menentukan bagaimana seseorang direpresentasikan.
“Dalam konteks modern, ketika fotografer jalanan memotret pejalan kaki tanpa sepengetahuan mereka, terjadi asimetri kekuasaan. Fotografer melihat dan mengabadikan, sedangkan subjek terekspos tanpa kendali,” paparnya.
Pemerintah Ingatkan Kepatuhan UU PDP
Terkait isu sensitif ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengingatkan para fotografer jalanan untuk mematuhi etika berfotografi dan terutama Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Fenomena ini memerlukan edukasi dan literasi digital. Regulasi seperti UU PDP harus diiringi kesadaran agar masyarakat tahu hak privasi mereka, dan fotografer memahami tanggung jawabnya.
Keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap hak privasi menjadi kunci agar fotografi dapat berkembang tanpa mengabaikan martabat manusia.(red)





