Pada masa lalu, di Asia Tenggara terdapat kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya, sehingga Kerajaan Sunda sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.
“Jadi di situ tidak ada tingkatan, jadi ada bahasa-bahasa di kita (orang Sunda) yang ditabukan, di sana menjadi hal yang biasa diucapkan,” jelas Dedi Mulyadi.
“Tetapi kalau dalam pandangan saya, bahasa itu bukan kalimat ‘maneh’, bukan kalimat ‘sia’, bukan kalimat apapun, tergantung hati, hati kita,” bebernya.
“Jadi kalaupun bahasanya halus, ya kalau hatinya benci, tetep aja nyelekit (menyakiti),” ujar Kang Dedi.
Penjelasan Dedi Mulyadi tersebut bermula dari Sikap Ridwan Kamil yang keberatan dipanggil ‘Maneh’ oleh Sabil.