Ketimpangan kontrol ini membuka ruang kejahatan digital. Mulai dari judi online, pembobolan rekening via OTP kartu lama, SMS phishing massal, hingga propaganda politik oleh bot otomatis yang dikendalikan lewat ribuan nomor gelap.
“Kalau negara gagal menutup lubang ini, kita bukan hanya bicara kerugian finansial, tapi juga ancaman terhadap pemilu dan integritas demokrasi,” imbuhnya.
Vendor kartu SIM di Indonesia mencakup perusahaan global seperti Thales, IDEMIA, dan G+D, serta pemain lokal seperti PT Pelita Teknologi (PGLO). Namun belum ada audit menyeluruh terhadap jalur distribusi, sistem enkripsi chip, hingga validitas hubungan antara data pengguna dan kartu aktif.
Tak kalah penting, IAW juga menyoroti praktik penghangusan kuota yang dilakukan operator. Misalnya, pelanggan membeli 10GB tapi hanya memakai 4GB, sisanya hangus tanpa rollover atau kompensasi. Iskandar menyebut praktik ini sebagai bentuk “fraud by omission”, pelanggaran terselubung karena konsumen tidak diberi hak atas sisa layanan yang telah dibayar.
“UU Perlindungan Konsumen belum menyentuh ranah ini. Tapi jika provider tahu konsumennya dirugikan, mereka seharusnya bertindak etis, bukan justru menikmati kondisi zona abu-abu ini,” ujarnya.





