JABARNEWS | BANDUNG – Putusan lepas (onslag) oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap terdakwa kasus penipuan investasi Rp100 miliar, Miming Theniko, mengguncang nalar keadilan. Saat Pengadilan Negeri Bandung menyatakan Miming terbukti bersalah dan menghukumnya 3 tahun penjara, hakim tingkat banding justru melepasnya. Bukan karena kurang bukti. Tapi karena dinilai bukan pidana, melainkan perdata.
Vonis ini langsung memantik gelombang protes. Jaksa Penuntut Umum Sukanda SH.,MH, angkat suara. Begitu pula kuasa hukum korban, Romeo Benny Hutabarat SH., MH. Keduanya menilai ada yang janggal dalam putusan tersebut. Bahkan lebih jauh, Romeo menyebut akan melaporkan hakim ke Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung, Bawas MA, KPK, dan Mabes Polri.
“Sudah jelas terbukti menipu, kok bisa dibilang perdata?” tegas Jaksa Sukanda saat dikonfirmasi wartawan via telepon, Rabu, 6 Agustus 2025.
Putusan Janggal di Balik Meja Hijau
Kasus ini semula tampak seperti perkara pidana biasa. Pada tingkat pertama, Miming Theniko dinyatakan bersalah oleh majelis hakim PN Bandung. Ia terbukti melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan, setelah menyerahkan 472 lembar cek kosong kepada investor selaku korban senilai total Rp100 miliar. Hakim menjatuhkan vonis 3 tahun penjara.
Namun, semua berubah ketika perkara naik banding ke PT Jawa Barat. Dalam sidang pimpinan Ketua Majelis Hakim Dr. Jonlar Purba, S.H., M.H., bersama dua hakim anggota, Siti Rochmah, S.H., dan Pahaatar Simarmata, S.H., M.Hum., putusan mengejutkan keluar: onslag. Miming dinyatakan lepas dari tuntutan hukum.
“Ini putusan sangat aneh. Sudah jelas-jelas terbukti menipu, kok diputus onslag? Jelas ini akan kami bawa ke kasasi,” lanjut Sukanda.
Jaksa Melawan: Kasasi Disiapkan
Tidak tinggal diam, jaksa memastikan akan membawa perkara ini ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Sukanda mengaku sudah menerima salinan lengkap putusan PT dan tengah menyusun argumentasi hukum untuk membatalkannya.
Menurutnya, dasar pertimbangan majelis hakim banding tak masuk akal. Jika semua penipuan dalam bisnis masuk kategori sebagai perkara perdata, maka ribuan korban kejahatan keuangan tak lagi bisa mencari keadilan melalui jalur pidana.
“Putusan PN sudah jelas menyatakan bersalah. Tapi tiba-tiba di tingkat PT disebut bukan pidana tapi perdata? Ini membuat keadilan jadi membingungkan,” tegasnya lagi.
Korban Tak Terima: Hakim Akan Dilaporkan
Sementara itu, di sisi korban, kemarahan tak terbendung. Romeo Benny Hutabarat, S.H., yang mewakili korban The Siauw Tjhiu, mengaku kecewa berat. Ia menyebut putusan hakim sangat tidak adil, berat sebelah, dan tidak masuk akal.
Lebih dari itu, Romeo menduga ada penyelewengan hukum dan potensi pelanggaran etik dalam proses persidangan tingkat banding. Karena itu, ia menyiapkan langkah tegas.
“Kami anggap ini putusan yang berat sebelah. Klien kami sangat dirugikan. Ada dugaan kuat penyelewengan hukum,” kata Romeo.
“Kami tidak puas. Terdakwa yang sebelumnya divonis 3 tahun, tiba-tiba bebas begitu saja. Ini bisa jadi preseden buruk bagi keadilan di Indonesia.”
Tak tanggung-tanggung, mereka akan segera melaporkan 3 hakim tersebut ke Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Bawas MA, KPK, dan Mabes Polri. Semua jalur pengawasan akan digunakan demi memeriksa majelis hakim PT Jabar.
Benarkah Penipuan Cek Kosong Hanya Perdata?
Kasus Miming Theniko bermula dari investasi fiktif dalam bisnis tekstil. Korban, The Siauw Tjhiu, melaporkan Miming ke Polda Jabar setelah 472 lembar cek senilai Rp100 miliar pemberian dari Miming, ternyata tak bisa dicairkan oleh The Siauw. Cek-cek itu kosong. Tak ada dana sepeser pun.
Saat itu, penegak hukum menilai unsur penipuan sangat jelas. Jaksa menuntut 3 tahun 6 bulan penjara, dan hakim PN Bandung sepakat. Namun kini, majelis hakim banding menyebut perbuatan itu bukan pidana, tapi sekadar sengketa bisnis.
Informasi lain menyebut, kini Miming telah lepas dari tahanan. Perkara ini semakin menambah daftar kejanggalan dalam kasus yang terus berkembang ini.
Kini, publik menunggu bagaimana Mahkamah Agung menilai perkara ini di tingkat kasasi. Putusan ini bisa menjadi preseden berbahaya bagi banyak korban kejahatan keuangan di masa depan.(Red)