“Saya masuk ke kelas-kelas, ngecek, ngetes sekilas saja, suruh nulis ‘Indonesia Raya’ ‘Indonesia Emas’ ‘Indonesia Masa Depan’, agak susah mereka, itu kelas 1 SMP,” ungkap Furtasan.
Menurutnya hal tersebut dikarenakan kurikulum yang diterapkan sebelumnya itu mendorong siswa tetap naik kelas meski belum memiliki kemampuan dasar seperti membaca dan menulis.
“Saya sering coba tanya kenapa ini kepada Kepala Sekolah, ternyata memang kurikulum yang kemarin kita terapkan itu mengharuskan anak bisa baca atau tidak bisa baca tetap dinaikin kelas,” terang Furtasan.
Ia juga menyebut bahwa fenomena ini merupakan tantangan serius bagi dunia pendidikan Indonesia.
Lebih jauh, Furtasan juga menyoroti opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK yang selama 2013-2024 selalu diraih Kementerian Pendidikan. Menurutnya, WTP belum tentu mencerminkan kinerja keuangan yang efektif dan efisien.