Survei juga menunjukkan 21,05% responden pernah mengalami intimidasi saat mempublikasikan konten cek fakta, terutama terkait politik, satir, kesehatan, Pemilu, dan sepak bola. Dampak yang ditimbulkan meliputi trauma, keengganan menulis artikel, dan bahkan berhenti dari profesi pemeriksa fakta.
Naharin Ni’matun Koordinator AJI Indonesia menyampaikan bahwa pemeriksa fakta terancam Undang-Undang ITE dan memerlukan perlindungan khusus. Ia juga mengusulkan agar pemeriksa fakta dapat dikategorikan sebagai “Human Rights Defender” (HRD).
Selain itu, disarankan adanya SOP pendampingan, kerja sama dengan lembaga strategis seperti Dewan Pers, dan harapan agar karya cek fakta mendapatkan hak serupa karya jurnalistik.
Aribowo Sasmito dari MAFINDO menambahkan bahwa tanda-tanda serangan terhadap jurnalis dan pemeriksa fakta baik dari media maupun non-media sudah mulai kembali menjadi tren, termasuk kasus doxing nomor pribadi dan ancaman somasi.
Felix Lamuri Direktur Eksekutif AMSI juga mendukung gagasan pemeriksa fakta sebagai HRD dan pentingnya berjejaring dengan berbagai pemangku kepentingan.
Abdul Manan, Anggota Dewan Pers Periode 2025 – 2028, menyatakan bahwa status akan berpengaruh dengan mekanisme perlindungannya.
Ia menyarankan untuk membuat pemetaan atau klasterisasi pemeriksa fakta wartawan atau bukan, yang akan berpengaruh untuk perlindungan cek fakta.