Penghematan subsidi listrik batu bara diperkirakan mencapai USD 34,8 miliar atau Rp556 triliun, sementara penghematan biaya kesehatan publik mencapai USD 61,3 miliar atau Rp980 triliun hingga 2045.
Angka ini jauh melampaui biaya pensiun dini sebesar USD 27,5 miliar atau Rp440 triliun hingga 2045.
Analis IESR menjelaskan biaya pensiun dini membengkak karena struktur Purchase Power Agreement (PPA) bermasalah.
Klausul take or pay dinilai memaksa PLN membayar listrik pada kapasitas tinggi dengan kontrak 30 tahun. Kontrak sepanjang itu tiga kali lipat waktu pengembalian investasi (pay back periode).
Selain itu, kebijakan domestic market obligation batubara membuat risiko harga bahan bakar ditanggung PLN dan negara.
“Listrik dari PLTU sejatinya tidak murah karena ada eksternalitas yang tidak pernah dihitung, yaitu dampak kesehatan dan biaya akibat polusi udara yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah dalam bentuk kenaikan beban BPJS,” tambah Fabby.
Studi tahun 2022 mencatat pensiun dini 9,2 GW PLTU di 2030 sesuai target Persetujuan Paris membutuhkan dana USD 4,6 miliar atau Rp73,6 triliun.
Kebutuhan investasi energi terbarukan, jaringan listrik dan penyimpan energi untuk mengganti pembangkit yang dihentikan mencapai USD 1,2-1,3 triliun hingga 2050.
Namun investasi ini bukan biaya “suntik mati” PLTU, melainkan investasi kelistrikan yang akan aset masa depan PLN dan negara.





