Unjuk Rasa Tolak Omnibus Law 6-8 Oktober 2020 Libatkan 2 Juta Buruh

JABARNEWS | JAKARTA – Sekitar dua juta buruh dari bernagai daerah di Indonesia diperkirakan bakal terlibat dalam unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebutkan, unjuk rasa buruh akan digelar di lingkungan perusahaan atau pabrik masing-masing secara serentak di seluruh Indonesia, pada 6-8 Oktober dari pukul 6.00-18.00 WIB.

“Jadi sebenarnya ini unjuk rasa, bukan mogok kerja, akan dilakukan serempak di seluruh Indonesia, dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum,” kata Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta, Sabtu (3/10/2020).

Dilansir dari Antara, Said mengatakan bahwa unjuk rasa tersebut diadakan di lingkungan kerja masing-masing, sebagai upaya untuk menghindari penyebaran penularan Covid-19.

Serikat kerja di tingkat perusahaan, kata dia, sudah mengirimkan surat izin kepada kepolisian setempat. Serikat kerja di tingkat nasional juga telah mengirimkan izin untuk berunjuk rasa di lingkungan perusahaan atau pabrik masing-masing kepada Mabes Polri.

Baca Juga:  Tok.. Pilkades Kabupaten Bekasi Diputuskan pada 13 Desember 2020

Dengan menggelar unjuk rasa sejak pagi hingga petang, kata dia, berarti tingkat produksi kerja akan secara langsung terkena dampak dari aksi mogok nasional yang akan digelar secara serentak tersebut.

“Produksi akan stop karena dia unjuk rasanya dari jam 6.00 WIB pagi sampai jam 18.00 WIB sore. Dan lokasinya itu adalah masih di lingkungan pabrik, di halaman pabrik, di kantin, di halaman parkir mobil, dan area lain,” katanya.

Said mengatakan, unjuk rasa pada 6-8 Oktober tersebut akan melibatkan sekitar dua juta buruh di 150 kabupaten/kota yang berada di 20 provinsi seluruh Indonesia. Termasuk di DKI Jakarta.

Di Jawa Barat unjuk rasa nasional akan melibatkan para buruh dari Bogor, Depok, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Cirebon, Bandung dan Cimahi.

Tuntutan utama dalam unjuk rasa tersebut ada 10 poin. Antara lain tentang pemutusan hubungan kerja (PHK), tentang sanksi pidana, tenaga kerja asing (TKA), tentang upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kota/Kabupaten (UMSK).

Baca Juga:  PT KAI Catat 62 Perlintasan Tidak Resmi di Jalur Rel Sukabumi-Cianjur

Kemudian tentang pesangon, waktu kerja, hak upah atas cuti atau cuti yang hilang, tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing atau alih daya seumur hidup, dan tentang potensi hilangnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.

Dari 10 poin tuntutan tersebut, kata Said, Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR memang menyepakati agar tiga isu dapat kembali kepada ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Ketiga isu itu ialah tentang PHK, sanksi dan TKA.

Namun demikian, menurut Said, tujuh isu lainnya juga sangat penting karena menyangkut kesejahteraan dan upah para buruh. Pada ketentuan terkait UMK dan UMSK, pemerintah dan DPR, menetapkan harus bersyarat.

Baca Juga:  Peringatan Keras Kapolri Jenderal Idham Azis untuk Jajarannya

“Apa itu yang masih dituntut? Meminta UMK dan UMSK jangan hilang. Jadi kembali ke Undang-Undang Nomor 13/2013 tentang Ketenagakerjaan, UMK dan UMSK jangan hilang,” katanya.

Serikat kerja menuntut agar ketentuan terkait UMK dan UMSK itu tidak bersyarat. “Kita enggak setuju. Syarat apa maksudnya? Kita kan enggak jelas. Jadi (seharusnya) UMK tidak bersyarat dan UMSK tidak hilang,” katanya.

Para buruh juga menuntut agar pesangon tidak dikurangi, selain juga tidak setuju adanya ketentuan tentang karyawan kontrak dan tenaga alih daya seumur hidup tanpa ada batas waktu.

“Nah, hal-hal lain adalah tentang cuti atau cuti bagi pekerja perempuan khususnya, kemudian juga kita minta jangan ada yang hilang jaminan sosial buat karyawan kontrak dan outsourcing. Kemudian, jangan ada juga waktu kerja yang eksploitatif karena itu adalah salah satu bentuk perbudakan,” kata Said Iqbal. (Ara)