Tarling dan Mama Jana, Setia Sejak Zaman Belanda

JABARNEWS | CIREBON – Usia boleh senja. Namun Sang Maestro Tarling Klasik , Mama Jana tetap aktif memainkan seni khas Cirebon ini dan merasa masih perlu berlatih setiap hari.

Begitulah sosok Sudjana Partanain yang sudah berusia 82 tahun. Di kediamannya di Gang Melati VII Kelurahan Kebon Baru, Kecamatan Kejaksan , Kota Cirebon Jawa Barat ia masih terlihat piawai memainkan gitarnya memainkan tarling.

Saat ini Mama Jana adalah satu-satunya generasi kedua tarling klasik kota Cirebon yang masih ada. “Tarling berasal dari kata gitar dan suling. Adapun gendang dan gong serta tambourine sebagai tambahan,” ungkap pria yang terlihat bersahaja ini seperti dikutip dari laman detik pada Jumat (13/4/2018).

Mama Jana sudah hidup bersama tarling sejak zaman kolonial. Ia bertutur zaman ini adalah masa emas tarlik klasik cirebon yang lalu redup di era Orde Baru.

Baca Juga:  Harga Cabai Rawit Tembus Rp 140, Ini Kata Disdagin Kota Bandung

“Tahun 1940-1960 tarling lagi masa jaya-jayanya. Lalu di tahun 1960-1970 tarling mulai sepi peminat,” kisahnya.

Banyak momen tak terlupakan pada masa era kejayaan tarling klasik. Mama Jana harus bisa berbaur dengan para penjajah agar bisa mendapatkan kesempatan bermain tarling klasik.

“Pernah ditanya-tanya penjajah, mereka khawatir kita bawa pemberontak. Khawatir sih pasti, tapi tidak pernah menjadi tahanan. Seniman mah tak dilarang, karena hiburan,” tuturnya.

Jana merupakan generasi kedua seniman tarling klasik di Cirebon. Sebelum Jana, Barang menjadi seniman tarling klasik generasi pertama. Awal mula kecintaan Jana terhadap tarling klasik lantaran kerap nimbrung bersama teman-teman seniman tarling waktu usianya masih 10 tahun.

Baca Juga:  Pemkot Bogor Kaji Efektivitas Ganjil Genap Melalui Dua Indikator Ini

“Saya mulai manggung itu setelah proklamasi. Awalnya sering ikut-ikutan gitar-gitaran bersama teman-teman. Lama-kelamaan nyantol, terus main dan manggung. Dulu mah sering diundang main ke hajatan-hajatan orang,” paparnya.

Dari tahun 1940 hingga 1970-an, setiap harinya Jana disibukkan dengan manggung. Bahkan, diakui Jana, ia tak bisa menghitung berapakali ia manggung dalam sehari. Kondisi tersebut berputar 180 derajat dengan kondisi saat ini.

“Sekarang mah jarang manggung. Kadang sebulan sekali. Walaupun dulu ada kendala, kadang alat musiknya tak sampai lokasi karena jarak yang jauh. Dulu mah susah nyari alamat karena tidak ada hape (handphone),” ucapnya.

Perjuangannya merawat dan memperkenalkan tarling klasik masih terus ia lakukan. Bahkan, pemerintah pun mengakui kegigihan Jana sebagai ‘Sang Maestro Tarling Klasik’. Tahun lalu, Kemendikbud mengundang Jana sebagai Sang Maestro untuk mengajar tarling ke 60 seniman muda dari berbagai daerah di Jakarta.

Baca Juga:  Video: Menikmati Keindahan Alam Di Tempat Wisata Kampung Singkur Bandung

“Program Belajar Bersama Maestro (BBM) dari Kemendikbud. Dari 60 itu, hanya 20 yang lolos dan saya ajarkan pakem-pakem tentang tarling,” kata Jana seraya menunjuk pada piagam BBM yang ia terima dari Kemendikbud.

Sanggar Candra Kirana menjadi bukti perjuangan melestarikan tarling klasik hingga saat ini. Sebanyak 15 seniman tarling bergabung dengan sanggar yang ia kelola. “Khawatir tarling klasik punah. Kita harus mencintai budaya kita,” katanya. (Yfi)

Jabarnews | Berita Jawa Barat