Pengamat Politik: Kampanye Olok-Olok Harus Segera Dihentikan

JABARNEWS | BANDUNG – Dua bulan sudah masa kampanye berlangsung, sejak ditetapkannya masa kampanye pemilu serentak 2019 yang dimulai 23 September 2018 hingga 13 April 2019 mendatang.

Dua bulan masa kampanye Pengamat Politik dari Universitas Islam Bandung (Unisba), Fadhli Muttaqien menilai kedua calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) juga para timses dari kedua paslon hanya mempertontonkan kebodohannya saja dalam kampanye kali ini.

Menurutnya aktifitas politik banyak diisi politik olok-olok dan minim gagasan. “Gaya komunikasi para calon dan wakil presiden dan timsesnya hari ini diperlihatkan kebodohanya, bodoh banget karena tidak memberikan pencerdasan kepada publik,” kata Fadhli kepada Jabarnews, di Bandung, Senin (26/11/2018).

Fadhli mengatakan, ketika hari ini para capres, cawapres dan timses juga parpol terus saling berbalas sesuatu yang sifatnya tidak substansial seperti misalkan tampang boyolali dibalas dengan ‘sontoloyo’ kemudian genderuwo dan seterusnya, sangatlah tidak mencerdaskan publik.

Sejatinya politik merupakan proses merebut kekuasaan dengan jalan yang sah dengan konstitusional dibuktikan dengan ada pemilu. Kemudian secara substansi merebut kekuasaan ini di era demokrasi perlu adanya pencerdasan publik lewat bagaimana pemaparan visi misi kemudian kebijakan yang akan ditaruh untuk lima tujuan ke depan ketika masa menjabat, itulah secara esensi atau hakikatnya.

Baca Juga:  Tidak Semua Polisi Bisa Lakukan Tilang Elektronik, Begini Menurut Korlantas

“Betul bahasa metafor itu diperlukan dalam narasi debat, tapi tidak akhirnya menjadi ramai yang seharusnya menjadi ramai merupakan politik substansial. Di mana pemaparan visi misi itu lebih dikedepankan dari pada yang sifatnya guyonan seperti ini,” ujar Fadhli.

Meskipun memang menurut Fadhli gaya kampanye politik seperti olok-olok ini masih cukup efektif merebut margin elektrolar untuk menembus batas elektabilitas, tapi tidak secara hakikat berpolitik.

“Karena makin nyeleneh makin viral, hanya tidak efektif secara hakikat berpolitik dimana yang seharusnya berpolitik atau calon presiden harusnya memaparkan visi misi ini malah guyonan ini tidak efektif secara penyimbolan sebagai calon presiden atau presiden,” jelas Fadhli.

Baca Juga:  Ramalan Zodiak 22 Oktober 2021: Selamat! Ada yang Mendapatkan Kabar Baik Seputar Karir

Fadhli mengatakan, jika gaya kampanye olok-olok itu terus dilakukan tidak akan baik bagi demokrasi Indonesia ke depannya. Menurutnya hal ini akan merusak akal sehat publik, seharusnya publik diberikan vitamin-vitamin gagasan visi misi, tapi malah diberikan guyonan.

“Seperti ini tidak menyehatkan bahkan menjadikan virus yang mematikan bagi akal sehat publik menurut saya demokrasi ke depan Indonesia akan menjadi buruk, sebab sesuatu yang sifatnya tidak substansial menjadi substansial,” tegasnya.

“Harus segera dihentikan, jadi sekarang yang kita harus koreksi bersama-sama adalah capres, cawapres dan timsesnya, lalu proses pemberitaan yang tidak informatif oleh media massa ini harus kita rombak habis-habis sehingga betul-batul publik itu ditawarkan suatu tontonan yang menarik, yang publik nonton bisa cerdas, dan akhirnya dapat memilih karena kecerdasan bukan karena viralnya saja,” lanjutnya.

Fadhli mengimbau, agar masyarakat ketika memilih presiden dan wakil presiden tidak hanya melihat tampilam luarnya saja. Lebih jauh lagi dilihat ketika dia membicarakan sesuatu yang sifatnya fundamental atau yang sifatnya kenegaraan.

Baca Juga:  Widodo Apresiasi Perjuangan Pemainnya

“Bagaimana pemaparan visi misinya, bagaimana keberpihakannya kepada masyarakat itu yang dilihat, sehinga tidak salah pilih, khawatir nantinya presiden yang terpilih bukan karena kapasitas, bukan karena kebijakannya, visi misinya, tapi karena keviralannya menyebut sesuatu” ujar Fadhli.

Meskipun tidak dipungkiri untuk membranding suatu pribadi harus ada sesuatu yang menarik yang bisa dilihat masyarakat tapi tidak selamanya dilakukan dengan cara seperti yang saat ini terjadi.

“Ada orang naik kuda, ada orang naik motor bukan melihat kuda dan motornya tapi bagaimana pribadi dari orang yang naik itu secara kapasitas intelektualnya sehingga Indonesia betul-betul dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang berkualitas dan argumentatif atau yang berkualitas secara ilmiah gitu bukan hanya sekedar baca teks,” pungkasnya. (Mil)

Jabarnews | Berita Jawa Barat