Kesenian Kuno ’Badud’ Pangandaran Dihidupkan Lagi

JABARNEWS | PANGANDARAN – Kesenian badud yang lahir di Dusun Margajaya, Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran kini mulai dikembangkan setelah mengalami kevakuman.

Kesenian badud sempat mengalami kevakuman lantaran tidak adanya minat generasi muda untuk menjadi pelaku pelestari kebudayaan kuno tersebut. Kesenian badud lahir pada 1868 dengan tujuan untuk menghibur warga.

Salah satu mantan dalang Badud, Abah Karsodi (81) mengatakan, kesenian badud semula dimainkan saat ada warga yang menggelar acara syukuran. ’’Biasanya kesenian badud ditampilkan dalam hajatan seperti khitanan, pernikahan dan syukuran setelah panen dan sebelum masa tanam padi,’’ kata Abah Karsodi.

Kesenian badud juga kerap dimainkan pada hari besar seperti memperingati hari kemerdekaan dengan tujuan menghibur rakyat agar mau mendatangi lapangan upacara. ’’Kini kesenian badud sudah dikenal sampai ke beberapa negara dan pernah ditampilkan di beberapa daerah pada event besar,’’ tambah Abah Karsodi.

Baca Juga:  Hilang Motor? Coba Cek Di Polres Indramayu

Namun, sebagai pencinta kesenian badud, Abah Karsodi merasa khawatir karena semakin banyaknya kesenian modern, kesenian badud tidak diminati oleh generasi muda saat ini.

’’Dalam pemeranan kesenian badud membutuhkan 20 orang pemain dalam satu sekali pementasan. Semuanya harus laki-laki. Dari 20 orang pemain, 4 orang di antaranya sebagai pemain alat musik berupa dogdog,’’ papar Abah Karsodi.

Keempat pemain alat musik disebut dalang dengan julukan sendul, onyon dan engkelek. Untuk dalang membawa alat musik paling besar, sedangkan sendul membawa alat musik badud yang sedikit lebih kecil. Kemudian onyon dan engkelek membawa alat musik badud yang lebih kecil lagi.

’’Pemain utama yang empat orang ini akan membacakan wawangsalan atau lebih dikenal nyanyian rakyat mirip pantun dan mereka dituntut untuk berperan sosok yang lucu dan meghibur,’’ jelasnya.

Baca Juga:  Inilah Lima Tempat Wisata Panjat Tebing Yang Paling Populer Di Jawa Barat

Setelah empat pemain utama cukup tampil dan menghibur, datanglah dua pemain yang memerankan sosok seorang kakek dan nenek. Sosok kakek dan nenek menggunakan topeng dengan karakter tua berdialog dan olah gerak, karakter ini juga akan membuat penonton terhibur dan tertawa.

’’Karakter kakek dan nenek ini biasanya merefleksikan yang sedang menanam padi dan mengusir hama. Kemudian, penampilan berikutnya lebih menarik lagi,” papar Abah Karsodi.

Didin Jentreng salah satu budayawan asal Cijulang mengatakan, adegan selanjutnya, setelah penampilan kakek dan nenek, mulai bermunculan sosok hewan yang ada di hutan.

’’Satu persatu muncul sosok harimau, lutung, anjing, babi hutan, kuda dan lain sebagainya. Tapi, yang kerap ditampilkan biasanya empat sampai lima jenis hewan saja,” kata Didin.

Baca Juga:  Pecahkan Rekor ORI, Acara Bubos 2019 Sukses Diselenggarakan Pemprov Jabar

Orang yang memerankan sosok hewan-hewan yang hidup di hutan ini menggunakan topeng dan kostum layaknya hewan sungguhan.

Gerakan pemeranan hewan menari meniru gerakan hewan yang mereka perankan. ’’Pemeran hewan awalnya diperankan secara sadar, tapi di waktu tertentu terkadang kerasukan sehingga lebih mirip hewan sungguhan saat tampil,’’ tambahnya.

Dalam pementasannya, kesenian badud memerlukan satu orang pawang hewan. Bahkan, orang yang berperan sebagai kuda hampir mirip dengan kuda lumping.

Pagelaran seni tradisional badud tidak dimainkan di atas panggung, tapi di lapangan terbuka dan sejajar dengan penonton. Kesenian badud ini mencerminkan kesenian hiburan rakyat yang lahir bukan dari keraton dan dinikmati rakyat biasa. (Abh)

Jabarnews | Berita Jawa Barat