JABARNEWS | BANDUNG — Dugaan adanya “kekuasaan bayangan” dalam tubuh Pemerintah Kota Bandung kembali mengemuka setelah penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung menyorot peran Ega Kibar Ramdhani. Sosok non-ASN ini yang disebut-sebut bertindak ‘tangan kanan’ Wakil Wali Kota Bandung, Erwin. Nama Ega kini mencuat sebagai figur yang dinilai memiliki kapasitas memengaruhi proses mutasi jabatan. Hal ini membuat penyidik memanggilnya kembali untuk menjalani pemeriksaan lanjutan, guna menelusuri alur pengaruh di balik keputusan birokrasi.
Jejak Lama yang Kembali Menguat
Dugaan keterlibatan Ega tidak muncul dalam ruang hampa. Justru, jejak politik lamanya kembali menyeruak. Pada 2020, ia pernah memimpin PAC PKB Kiaracondong—sebuah wilayah yang publik kenal sebagai salah satu basis kekuatan politik Wakil Wali Kota, Erwin.
Karena itu, kedekatan historis tersebut kembali memantik spekulasi bahwa hubungan keduanya lebih dari sekadar relasi personal.
Selain itu, beberapa ASN sejak lama menyebut nama Ega dalam percakapan informal mengenai rotasi jabatan. Meski tanpa posisi struktural, ia digambarkan sebagai figur yang mampu membuka atau menutup pintu bagi mereka yang berharap berpindah posisi. Oleh sebab itu, ketika penyidik mulai menelusuri pola penyalahgunaan kewenangan, nama Ega langsung masuk dalam radar pemeriksaan.
Pemanggilan Beruntun: Sinyal Peran Kunci
Penyidik Kejari Bandung memanggil Ega untuk kedua kalinya pada Jumat, 28 November 2025, sebagai bagian dari pemeriksaan lanjutan. Selama sekitar 4 jam, penyidik menggali 14 poin pertanyaan yang dinilai penting untuk mengurai mekanisme tidak resmi dalam proses pengisian jabatan.
Pemanggilan yang berlangsung beruntun itu menunjukkan bahwa penyidik memandang Ega sebagai simpul informasi yang signifikan.
Bahkan, sejumlah sumber internal menyebut pemeriksaan ini menjadi salah satu kunci untuk membongkar keterikatan antara pejabat struktural dan figur non-ASN yang diduga memiliki akses langsung ke lingkaran pimpinan daerah.
Pernyataan yang Justru Memantik Gelombang Kritik
Alih-alih meredam isu, Ega justru memicu reaksi luas setelah keluar dari gedung Kejari.
Ia menegaskan bahwa, “seluruh kebijakan administratif berada dalam kewenangan Wali Kota,” dan dirinya sebagai pihak swasta tidak memiliki otoritas apa pun.
Namun, pernyataan tersebut tidak berjalan mulus. Publik menilainya sebagai upaya “cuci tangan” dan mencoba mengalihkan sorotan ke pimpinan daerah.
Lebih jauh, beberapa netizen menganggap ucapannya kontradiktif dengan rumor lama bahwa ia sering muncul dalam pembahasan internal ASN terkait rotasi jabatan.
Situasi pun semakin keruh ketika komentarnya dinilai menyentuh “pihak-pihak dekat pimpinan daerah,” sehingga membuka kembali percakapan lama mengenai tata kelola birokrasi Kota Bandung.
Netizen Menegur Tanpa Basa-Basi
Publik. Jagat Maya merespons pernyataan tersebut dengan cepat dan deras. Berbagai akun di media sosial langsung melontarkan kritik. Misalnya,
akun @davin_sadea06 menulis, “Saksi-saksi ASN pada nunjuk ka maneh, Mang Ega. Komperatif weh, geus dua kali dipariksa.”
Lalu, akun @kakarindingan menambahkan, “Mutasi memang wewenang Wali Kota. Tapi bukan berarti pihak non-ASN bisa ikut nimbrung, nya?”
Sementara itu, akun @munafikantikaum memperingatkan, “Kade ah Mang, ulah cuci tangan. Bisi balikna ka diri sorangan.”
Adapun akun @winataseptian09 berkomentar, “Kayaknya bakal panjang nih. Antek-antek lain pasti nyusul dipanggil.”
Gelombang komentar tersebut menunjukkan satu hal: publik menaruh kecurigaan besar terhadap kemungkinan adanya struktur kekuasaan tambahan yang bekerja di luar jalur resmi pemerintahan.
Persepsi Publik Tidak Mereda
Meski begitu, Ega tetap menegaskan posisinya. Ia mengatakan bahwa dirinya datang sebagai bentuk menghormati proses hukum dan telah menjawab seluruh pertanyaan penyidik. Namun demikian, klarifikasi tersebut tidak cukup meredam kritik publik. Justru, beberapa analis menilai pernyataannya memperkuat dugaan adanya “aktor non-struktural” yang ikut mengendalikan arah kebijakan birokrasi Pemkot Bandung.
Karena itu, penyidik kini tidak hanya fokus pada aspek administratif, melainkan mulai menelusuri hubungan personal yang diduga memiliki pengaruh dalam proses mutasi jabatan.
Menguak Struktur Kekuasaan Bayangan
Merujuk dua kali pemanggilan Ega dan meningkatnya tensi publik, penyidik mulai mengarahkan kasus ini pada persoalan yang lebih dalam. Tidak lagi sekadar soal prosedur administratif, melainkan:
- dugaan keterlibatan figur non-ASN dalam kebijakan internal,
- peran aktor bayangan dalam mutasi jabatan,
- pengaruh relasi personal dalam pengambilan keputusan,
- serta keberadaan jejaring kekuasaan informal yang selama ini tersembunyi.
Dengan demikian, kasus dugaan penyalahgunaan wewenang ini diperkirakan akan membuka lapisan-lapisan baru yang selama ini tidak tampak dalam struktur pemerintahan Kota Bandung.
Menanti Babak Berikutnya
Karena lingkup penyidikan kini melebar, perkembangan selanjutnya hampir dapat dipastikan menjadi lebih menarik. Publik menunggu apakah pemanggilan Ega akan berlanjut pada pemeriksaan pihak lain yang disebut berada dalam orbit kekuasaan informal tersebut. Apalagi, dugaan “kekuasaan bayangan” di lingkungan pemkot menjadi isu yang sensitif sekaligus menentukan arah tata kelola pemerintahan ke depan.(Red)





