“Ini pertanyaan besar dibalik hebohnya pencabutan izin perusahaan.Di samping itu diluar beberapa perusahaan yang dicabut izin nya masih ada dan tidak sedikit perusahaan yang saat ini belum/tidak melaksanakan kewajibannya. Kami ambil contoh kehilangan hutan akibat pelepasan kawasan hutan dan IPPKH,” tuturnya.
Dedi mengungkapkan bahwa penting terus mengawal dan memeriksa kondisi lapangan dan sosial agar keputusan tersebut nyata dan murni berpihak pada perbaikan hutan dan kesejahteraan masyarakat secara adil dan berdaulat demi kepentingan ekologi dan kepentingan sosial ekonomi kerakyatan.
Dedi menyebutkan bahwa ada beberapa IPPKH gagal melaksanakan kewajiban lahan kompensasi (Lakom) yang diamanatkan. Sehingga kawasan hutan bukan hanya rusak akan tetapi hilang.
Tak hanya itu, pihaknya juga menemukan fakta setidaknya ada 32 kegiatan usaha dari 3 BUMN yang menggunakan kawasan hutan, namun belum melaksanakan kewajiban memberikan lahan kompensasi. Secara keseluruhan luas IPPKH dari kegiatan tersebut sebesar 1.628,87 hektar dan lahan kompensasi untuk luasan itu sebesar 3.257,75 hektar.
“Ironis pula disaat UUCK disahkan selain batasan kawasan Hutan dihilangkan yang kami indikasikan agar semua aturan perusakan bisa masuk karena regulasi diabu-abukan. Juga muncul PP 23 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan di mana ada pasal dan bab yang menyatakan ganti kawasan akan cukup diganti dengan uang melalui PNBP dan atau sejenisnya. Nyaris tidak melihat keseimbangan,” ungkapnya.