Rawan Penyelewengan, Kode Etik Filantropi di Era Digital Harus Ditegakkan

JABARNEWS | BANDUNG – Selain menjanjikan peluang dan kesempatan, pemanfaatan platform digital dalam kegiatan filantropi (kedermawanan sosial) juga memunculkan berbagai tantangan dan persoalan. Masyarakat dan donatur mulai mengeluhkan dan melaporkan berbagai praktik filantropi yang dinilai kurang etis.

Persoalan etika ini banyak ditemui pada tahapan kampanye dan penggalangan sumbangan secara digital. Untuk meminimalisir dan mengatasi masalah ini, organisasi dan pegiat filantropi dituntut untuk menerapkan dan menegakkan kode etik dan pedoman terkait kegiatan filantropi di era digital.

Ketua Gugus Tugas KEFI (Kode Etik Filantropi Indonesia) Tomy Hendrajati mengatakan, filantropi digital berkembang pesat di indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pesatnya pemanfaatan platform digital dalam kegiatan filantropi juga diakselerasi oleh kondisi pandemi Covid-19 yang memaksa sebagian aktivitas berpindah ke platform digital.

“Era digital tidak hanya menjanjikan peluang dan kesempatan bagi pengembangan kegiatan filantropi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, tapi juga memunculkan berbagai tantangan dan persoalan, terutama persoalan terkait etika.,” kata Tomy dalam keterangan yang diterima, Rabu (10/3/2021).

Baca Juga:  Ini Hasil Olah TKP Terkait Tergulingnya Bus di Jalan Tol Cipali

Menurutnya, beberapa persoalan etika yang terjadi dalam kegiatan filantropi. Diantaranya maraknya penggalangan donasi untuk kepentingan pribadi, penggunaan gambar atau video yang mengeksploitasi kesedihan dan penderitaan korban.

Kemudian frekuensi dan intensitas kampanye dan tawaran donasi yang menimbulkan ketidaknyamanan calon donatur, pelanggaran hak cipta dalam penggunaan gambar dan video untuk materi kampanye. Ketidaksesuaian penyaluran pemanfaatan sumbangan, minimnya transparansi dan akuntabilitas, narasi provokasi dan ujaran kebencian, sampai cyberbullying terhadap penggalang donasi, organisasi dan penerima manfaat.

“Jika dilihat dari 4 tahapan filantropi, yakni penggalangan, pengelolaan, penyaluran dan pelaporan/pertanggungjawaban sumbangan, persoalan etika filantropi digital banyak terjadi di tahapan kampanye untuk penggalangan sumbangan,” tuturnya.

Tomy menjelaskan, untuk mengatasi masalah etika ini, beberapa organisasi dan asosiasi sebenarnya sudah menerbitkan kode etik atau pedoman dalam menjalankan kegiatan filantropi atau fundraising. Filantropi Indonesia, misalnya, menerbitkan Kode Etik Filantropi Indonesia (KEFI) sebagai pedoman perilaku pegiat filantropi dalam menjalankan kegiatan filantropi atau kedermawanan sosial.

Baca Juga:  Asia Africa Festival 2023 di Kota Bandung, Kembali Digelar

Selain KEFI, ada juga Kode Etik Amil yang diterbitkan Forum Zakat dan Pedoman Akuntabilitas Bantuan Kemanusiaan yang diinisiasi oleh Humanitarian Forum Indonesia.

“Sayangnya, Kode Etik dan Pedoman ini belum berperan optimal dalam meminimalisir dan mengatasi persoalan etika dalam kegiatan filantropi. Selain minimnya sosialisasi, lemahnya mekanisme pengawasan dan penegakan kode etik juga menjadi kendala dalam mengatasi masalah-masalah etik yang muncul di lapangan,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Forum Zakat (FOZ) Bambang Suherman mengungkapkan bahwa persoalan etika juga terjadi dalam penggalangan, pengelolaan dan penyaluran filantropi keagamaan. Khususnya Zakat, Infaq, sedekah (ZIS).

Hal ini bisa dimaklumi mengingat sebagian besar LAZIS (Lembaga Amil Zakat) juga memanfaatkan platform digital dalam menggalang ZIS. Amil atau pegiat LAZIS melihat perilaku donatur atau muzakki (pembayar zakat) dalam membelanjakan hartanya mengalami perubahan.

Baca Juga:  RSHS Bandung Prediksi Akan Ada Lonjakan Covid-19 Pasca Libur Nataru

“Proses dan cara transaksi dalam belanja kebutuhan konsumsi tidak jauh berbeda dengan transaksi belanja untuk kebutuhan religius mereka dalam bentuk ZIS. Seperti halnya transaksi konsumsi, proses transaksi ZIS juga berpindah dari analog atau konvensional ke digital,” ungkap Bambang.

Dia menambahkan, Era digital juga membuka peluang dan kesempatan banyak pihak, mulai dari individu, komunitas sampai lembaga sosial, untuk terlibat dalam penggalangan donasi maupun ZIS. Namun, lanjut Bambang, kesempatan dan peluang yang besar ini diikuti dengan pertanyaan terkait transparansi dan pertanggungjawabannya.

Selain itu, muncul pula persoalan-persoalan etis karena tidak tersedianya mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai regulator. “Karena itu kita perlu memiliki suatu perangkat yang mengisi atau melengkapi kekosongan pengawasan oleh negara dalam bentuk kode etik atau pedoman terkait kegiatan filantropi atau pengelolaan ZIS,” tutupnya. (RNU)