Sudah Lama Terbengkalai, Dedi Mulyadi LHK Bahas Revisi UU 5 Tahun 1990

JABARNEWS | JAKARTA – Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem sudah 17 tahun ini masih belum tertuntaskan.

Menindaklanjuti hal tersebut, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi sepakat untuk menuntaskan perubahan UU Nomor 5 Tahun 1990 dan meminta Kementerian Lingkungan Hidup secara bersama melakukan pembahasan UU tersebut.

Pada tahun 2003 lalu kata Dedi, sudah ada pengajuan revisi UU, namun agenda tersebut tidak masuk dalam Prolegnas. Kemudian revisi serupa kembali diajukan pada 2018, namun lagi-lagi belum masuk pada Prolegnas.

Akibatnya kata Dia, banyak penyesuaian yang harus dilakukan. Padalah, revisi aturan ini diperlukan demi menjaga dan melindungi sumber daya alam hayati dan ekosistem.

“Sudah jadi tugas Kementerian Lingkungan Hidup untuk memiliki konsistensi dalam menjaga sumber daya alam hayati dan eksositem. Harus mau sama-sama membahas ini,” kata Dedi Mulyadi, Kamis (10/12/2020).

Baca Juga:  Dorce Gamalama Meninggal Dunia, Erick Thohir: Indonesia Telah Kehilangan Sosok Bunda

Terkait urgensi Dedi menjelaskan, ada beberapa alasan penting yang menjadi landasan untuk dilakukannya revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

Pertama kata dia, isi UU tersebut saat diekspose kepada Komisi IV DPR RI tidak sesuai harapan dan masih banyak ditemukan pasal genetik dan menimbulkan banyak pertanyaan.

“Pada saat bersamaan LHK mengirimkan surat kepada Komisi IV dengan alasan yang tidak jelas,” tuturnya.

Kedua, dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 ini ada beberapa amanah untuk membuat peraturan pemerintah. Akan tetapi kata dia, selama 30 tahun, baru lima peraturan pemerintah yang dibuat. Sedangkan tiga peraturan pemerintah lagi belum.

Ketiga, Dedi mengatakan, terkait umut UU Nomor 5 Tahun 1990 itu dan peraturan pemerintah itu terbilang sudah terlalu lama, sehingga banyak pakar mengusulkan untuk revisi.

Baca Juga:  Beasiswa APERTI BUMN Kembali Dibuka, Berikut Tanggalnya

Keempat, peraturan pemerintah yang belum terbit dan dievaluasi sebaiknya dimasukkan kepada revisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang baru dengan usulan satu undang-undang satu peraturan pemerintah seperti UU Cipta Kerja.

Kelima, bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tumpang tindih dengan UU perikanan mengenai konservasi laut. Akibatnya, selama ini terjadi tarik menarik kewenangan.

Mengingat beberapa alasan tersebut, Dedi menilai, aturan perundangan ini perlu disempurnakan dengan pembagian kewenangan, yaitu hasil laut yang tidak dilindungi diberikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, sedangkan yang ditangani International Union For Conservation Of Nature (IUCN) dan Conservation On International Trade In Endangered Spesies Of Wild Fauna and Flora (CITES) tetap dipegang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

“Dengan pertimbangan bahwa sarana dan prasarana, SDM, ahli, dan lainnya tersedia,” kata Dedi.

Alasan lain soal pentingnya revisi UU No 5 Tahun 1990 adalah bahwa ketika aturan itu diundangkan, daerah penyangga kawasan konservasi merupakan kawasan hutan yang didiami hewan-hewan besar seperti gajah, tapir, badak dan lainnya.

Baca Juga:  Terbakarnya Angkot di Sadang Purwakarta, Inilah Penyebabnya

Namun saat ini daerah penyangga kawasan konservasi sudah berubah menjadi kebun, hutan tanaman industri (HTI) dan lainnya. Sehingga satwa yang dilindungi terancam dan menimbulkan konflik satwa dengan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibangun koridor satwa lebar 200 meter.

“Akhir-akhir ini banyak terjadi konflik satwa yang keluar dari habitatnya karena makanan dan habitatnya terancam dan berkurang. Maka, untuk itu di Taman Nasional perlu ditanam jenis-jenis buah-buahan dan tanaman biji-bijian,” katanya.

Alasan lain perlunya revisi aturan itu adalah soal sanksi. Ketentuan pidana pada UU No 5/1990 masih sangat ringan, sehingga perlu dkaji ulang sanksi kepada pelaku perburan satwa yang dilindungi.

Editor: Solahudin, Sumber: Kompas