Geram! Dedi Mulyadi Temukan Tambang Pasir Ilegal Kamuflase Perkebunan Cengkeh

JABARNEWS | PURWAKARTA – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi mendatangi sebuah tempat di Kecamatan Cibatu, Kabupaten Purwakarta yang terindikasi melakukan penambangan ilegal yang dikamuflasekan menjadi perkebunan cengkeh.

Dedi mendatangi tempat dengan plang Perkebunan Cahaya Natural Bumi No: 525/249/Bunhor/2021 NIB: 0220004830927 dengan maksud mengumpulkan bukti objektif untuk dilaporkan ke Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Secara persuasif saya sudah telepon pemilik lahan tapi tetap saja banyak argumentasi. Kemarin saya minta untuk berhenti tapi sampai hari ini masih berjalan maka saya datang untuk mengumpulkan bahan dan seluruh bahannya akan disampaikan ke kementerian,” ujar Dedi Mulyadi.

Nantinya, kata Dedi, bukti tersebut akan dilaporkan untuk diselidiki lebih lanjut oleh penyidik apakah ada unsur pelanggaran atau tidak.

“Ada atau tidaknya pelanggaran itu urusan penyidik di kementerian. Yang penting fungsi pengawasan saya di lapangan, di Dapil bisa berjalan baik dan alam harus tetap terjaga. Kalau alam rusak kita mau pergi dan tinggal di mana,” ucapnya.

Baca Juga:  Setelah Viral, Banyak Dermawan Bantu Bocah Penjual Kerupuk Keliling

Saat berada di lokasi Dedi menemukan fakta bahwa hanya bagian depan saja yang ditanami oleh pohon. Sementara di belakangnya terdapat cekungan luas yang sedang dilakukan penambangan pasir.

Di lokasi Dedi Mulyadi pun bertemu dengan seorang pria yang mengaku mandor. Pria tersebut berdalih lahan sengaja digali karena ada pasir di bawahnya. Nantinya lahan tersebut akan kembali direklamasi dan ditanami cengkeh.

“Masa orang berkebun galinya sampai sini. Tanam cengkeh masa sampai gali ke bawah sini. Jujur saja mau tanam cengkeh atau pasir. Izinnya ada enggak,” tanya Dedi.

Pria itu pun mengakui jika sebenarnya sedang dilakukan penambangan pasir. Ia pun menyebut izin sedang diurus oleh pemilik lahan. Sementara ia hanya bertugas menjadi pengawas lapangan yang mempekerjakan delapan orang anak buah.

Baca Juga:  Mengenal Sejarah Cirebon Sebagai Salah Satu Kerajaan Islam Di Jawa Barat

“Itu bapak ngakalin kasih judul perkebunan tapi intinya penambangan pasir. Saya tidak ada kewenangan untuk menindak hanya mengumpulkan data untuk ditindaklanjuti,” ucap politisi Golkar ini.

Tak hanya itu Dedi pun merasa miris dengan alasan sang mandor kekeuh bekerja karena untuk mensejahterakan warga sekitar. Namun faktanya saat Dedi menanyai satu per satu pekerja tak ada satu pun yang merupakan warga Purwakarta.

Sebelum meninggalkan lokasi Dedi kembali mengingatkan agar semua pekerja berhenti dan beralih profesi. Sebab tidak ada orang yang sejahtera dari pekerjaan merusak alam.

“Mana katanya mensejahterakan warga sini tapi tidak ada yang orang sini. Pekerja saja hanya diupah Rp 60 ribu dan mandor Rp 100 ribu per hari. Yang sejahtera itu hanya pemiliknya saja. Dan saya sudah ingatkan ke Pak Teja (pemilik lahan) secara persuasif, tapi enggak mau (berhenti), ya sudah saya akan laporkan,” kata Dedi Mulyadi.

Baca Juga:  Edarkan Sabu, Pemuda Asal Purwakarta Diringkus Polisi

Tak sampai di situ Dedi pun meminta semua pekerja meninggalkan lokasi dan mencari pekerjaan lain yang tidak bertentangan dengan alam. Dedi pun memberikan sejumlah uang untuk ongkos para pekerja pulang sebagai kompensasi berhenti bekerja.

“Antara kerusakan dan uang yang didapat bapak-bapak ini tidak seimbang. Ini bakal banjir turun ke bawah dan merugikan orang lain. Ini hanya akal-akalan di depan perkebunan, bawahnya seperti ini (tambang pasir),” ucapnya.

Dari informasi yang dihimpun tambang tersebut berada di lahan milik Perhutani dan PTPN. Rencananya lahan yang akan digarap seluas 20 hektar namun baru 6,8 yang sudah dikupas menjadi tambang ilegal.

“Saya minta Dirjen Penegakan Hukum KLHK agar menindaklanjuti temuan ini. Para pihak terkait juga saya minta untuk tidak mengeluarkan izin bagi angkutan tambang. Prinsip pengelolaan hutan dan perkebunan tidak boleh bertentangan dengan prinsip pengelolaan lingkungan,” pungkas Dedi Mulyadi. (Red)