Kasus Dana Fiktif, Cerminan Pejabat Zaman Now

JABARNEWS | BANDUNG – Kasus perjalanan fiktif yang melibatkan para anggota DPRD Purwakarta yang menghabiskan dana APBD sebesar Rp 2,4 miliar tentu menyedot perhatian publik. Pasalnya deratan cek kosong, perjalanan dinas fiktif dan lainnya.

Seperti diketahui, Pengadilan Tipikor Bandung (22/01/2019) tengah menyidangkan kasus korupsi perjalanan dinas fiktif anggota DPRD Purwakarta tahun anggaran 2016, dengan terdakwa Sekretaris DPRD Purwakarta M Ripai dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Heri Ujang Sumardi.

Keduanya didakwa Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana sebagai dakwaan primair. Sedangkan dakwaan subsidair, Ripai dijerat Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUH Pidana.

Baca Juga:  Mahasiswa Ini Demo Seorang Diri di Gedung DPRD

Banyak Fakta mencengangkan terkait persidangan dana fiktif Purwakarta ini, misalnya setiap bulan para anggota dewan harus menandatangani satu bundel kwitansi kosong, staf bendahara yang kurang kredibel yang diisi dengan mantan supir yang pekerjaannya hanya membayar listrik bulanan.

Para saksi yang setiap minggunya bersikap aneh misal berbelit- belit saat memberi keterangan dan fakta yang mencenangkan seolah kerugian negara yang mereka buat sebesar Rp 2,4 miliar tak bernilai apa-apa.

Menurut Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI) Vaza Fernantha SH, MH, kasus dana fiktif ini merupakan suatu budaya yang sudah mendarah daging di kalangan pejabat. Pasalnya tak hanya ada di kasus Purwakarta saja, namun sudah menjamur di daerah lain.

Baca Juga:  Lihat ASN Langgar Mudik? Laporkan dengan Cara Mudah Ini

Misalnya, kata Vaza, kasus bancakan yang terjadi di Tasikmalaya yang ramai akhir-akhir ini, kasus DPRD malang yang korupsi berjamaah sampai 45 dewan di Kota Malang terseret hingga terjadi lumpuh total pemerintahannya, dan masih banyak kasus korupsi dana fiktif lainnya.

Budaya buruk ini sendiri, menurut Vaza, disebabkan kegagalan pemerintah yang kurang mengawasi dalam pengeluaran dan pemasukan anggaran. Akibatnya para pejabat daerah dengan leluasa menyalahgunakan anggaran negara yang notabene buat kemajuan daerahnya malah disalahgunakan mereka.

“Sebenarnya kasus itu sudah biasa, bahkan sudah menjadi budaya buruk bagi para pejabat. Namun tentu jika budaya buruk tersebut tak secepatnya dituntaskan, maka akan terus berekor dan sulit dihilangkan,” katanya saat dihubungi Jabarnew.com melalui telepon selulernya.

Baca Juga:  Tak Miliki TPA, Kota Cimahi Gagal Sabet Piala Adipura

Tak hanya di pejabat, bahkan di sekolah pun sama seperti dulu ada anggaran operasional dana Bos, namun dana tersebut sering tak sesuai sasaran. Misalnya si pejabat tersebut kasihan melihat tenaga honorer akibatnya dana tersebut dipakai untuk membayar tenaga honorer namun di kwitansi di tulis buat keperluan siswa.

“Itu kan juga fiktif. Ya susah kalau sudah ke depannya akan terus seperti ini. Kecuali perlunya kesadaran antar masyarakat dengan pemerintah yang transfarasi,” ujar Vaza. (San)

Jabarnews | Berita Jawa Barat