JABARNEWS | BANDUNG – Aturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait larangan program acara di televisi bagi calon kepala daerah yang mengikuti pilkada serentak dinilai sebagai aturan yang tendensius. Hal ini bertentangan dengan asas Equality Before the Law (Persamaan di Hadapan Hukum).
Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua Tim Pemenangan Pilgub Jabar Deddy-Dedi, Asep Wahyuwijaya, menanggapi pemberitaan terkait larangan lembaga penyiaran program acara televisi bagi para peserta Pilkada. Khususnya bagi Calon Gubernur Jabar pasangan urut 4 Deddy Mizwar yang akan menayangkan sinetron film religi di bulan ramadhan.
“Aturan KPI itu terkesan tendensius. Aturan ini sebenarnya untuk siapa? Apakah untuk semua peserta Pilkada yang ikut Pilkada 2018 ini atau hanya untuk satu orang calon saja ?” kata Asep kepada wartawan, Selasa (8/5/2018).
Menurut Asep, hanya Deddy Mizwar calon kepala daerah yang berlatar belakang sebagai artis atau bintang film. Pekerjaan itu, sudah dijalani jauh hari sebelum Pilkada dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Jika ada aturan seperti itu, katanya, artinya aturan itu hanya diberlakukan untuk Deddy Mizwar saja.
Padahal, lanjut Asep, sinetron yang dibintangi Deddy Mizwar dan akan ditayangkan pada bulan Ramadhan nanti, sudah bisa dipastikan bukan untuk kepentingan kampanye.
“Tapi itu rutinitas yang sudah dilakukan setiap tahun sebelum Pilkada ini. Tidak hanya untuk sinetron baru ini, namun juga seri-seri sinetron lainnya,” kata Asep.
Artinya, dalam sinetron itu tidak ada upaya pencitraan atau mencitrakan diri baik secara implisit maupun secara eksplisit. Sama sekali tidak ada simbol-simbol yang muncul terkait calon nomor empat, dalam sinetronnya. Apakah menggunakan gerakan tangan atau candaan yang muncul dalam dialog, itu sama sekali tidak ada.
“Deddy Mizwar main film tidak tiba-tiba karena itu memang profesinya artis atau bintang film. Kalau ada calon kepala daerah yang tiba-tiba main film, itu boleh jadi untuk pencitraan atau mencitrakan diri, lebih jauhnya berkampanye,” jelas Asep.
Anggota DPRD Jabar ini menambahkan, soal larangan main film sebenarnya pernah didiskusikan dengan Bawaslu dan isu yang muncul adalah adanya kekhawatiran muatan kampanye dalam sinteron tersebut.
Untuk memastikan sinetron ini mengandung muatan kampanye atau tidak, kata Asep lagi, script atau skenario dari sinetron tersebut bisa dicek atau diperiksa dulu. Bahkan, untuk mengecek ini bisa melibatkan Badan Sensor Film (BSF).
“BSF adalah pemegang otoritas yang mengkoreksi materi setiap tayangan sinetron dan film. Saya pikir BSF lah yang layak untuk menilai apakah sinetron Deddy Mizwar itu kampanye atau tidak,” ujar Asep.
Sependapat dengan Asep Wahyuwijaya, Praktisi hukum Universitas Pasundan, Dedy Mulyana, SH, MH., mengatakan, hukum harus belaku bagi semua orang. Dedy menambahkan, asas praduga tak bersalah juga harus dikedepankan dalam menyikapi masalah tayangan sinetron calon kepala daerah ini.
“Asas praduga tak bersalah harus digunakan. Belum tentu Deddy Mizwar berkampanye dalam tayangan sinetron ini,” kata Dedy. (Wan)
Jabarnews | Berita Jawa Barat