Catatan PWI: Kontribusi Positif Media Terhadap Pandemi dan Kriminalisasi Masih Ancam Pers

Ketua Umum PWI, Atal Sembiring Depari dan Sekretaris Jenderal PWI, Mirza Zulhadi. (Istimewa)

Dari semua kasus itu, Dewan Pers sudah menyatakan bahwa karya tulis wartawan itu sebagai produk jurnalistik dan saksi ahli yang dihadirkan di persidangan juga menyatakan bahwa wartawan tidak dapat dipidana karena berita.  Meski demikian, harus diakui bahwa banyak berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) setelah sejumlah kasus pengaduan masyarakat ditangani Dewan Pers.

Dalam beberapa tahun terakhir juga berkembang jenis-jenis kejahatan digital, seperti doxing, bulliying, dan hacking. Sasaran kejahatan adalah para wartawan yang kritis terhadap para pemegang kekuasaan. Para pengancam kebebasan pers itu dengan memanfaatkan platform digital atau media sosial yang berkembang masif pada era internet saat ini. Keberadaan internet yang melahirkan platform digital atau media sosial selain menjadi channel communication bagi masyarakat dan sarana distribusi konten bagi perusahaan pers, juga  dapat merusak kehidupan berbangsa dan bernegara serta masa depan pers itu sendiri.

Baca Juga:  Pentingnya Air Minum Bagi Tubuh Dalam Menghadapi Endemi Covid-19

Cantoni and Tardini (2006) menyebut internet sebagai a double edged sword, pedang bermata dua. Banyak pers yang gulung tikar karena terdisrupsi perkembangan teknologi digital/internet.

Baca Juga:  PWI Kecam Oknum Petugas Bawaslu Jabar yang Maki Wartawan: Langgar Undang-undang Pers!

Ini tantangan terhadap kebebassn pers ke depan. Negara harus hadir memberi perlindungan terhadap wartawan dan pers. Pemerintah perlu mempertimbangkan benar regulasi mengenai social media law untuk memberikan tanggung jawab yang semestinya untuk perusahaan platform media sosial global dalam mengendalikan konten-konten yang meresahkan dan memecah belah tersebut.

Baca Juga:  Innalillahi.. Mayat Bayi Mengambang Ditemukan Saat Hujan

Tetapi, social media law jangan terjerumus pada regulasi berlebihan atau over regulation yang justru mereduksi segi segi positif demokratis dari fenomena media social yang oleh Geoff Livingston (2011) telah melahirkan kekuatan kelimat (fifth estate).