Lebih Mengenang K.R.T. Hardjonagoro, Sosok Pelopor Batik Indonesia

JABARNEWS | BANDUNG – Go Tik Swan, umumnya dikenal dengan nama K.R.T. Hardjonagoro yang lahir pada 11 Mei 1931—5 November 2008 merupakan seorang budayawan dan sastrawan Indonesia yang menetap di Surakarta.

Ia dilahirkan sebagai putra sulung keluarga Tionghoa yang termasuk golongan Cabang Atas atau priyayi Tionghoa di kota Solo (Surakarta). Karena kedua orangtuanya sibuk dengan pekerjaan mereka.

Tik Swan diasuh oleh kakeknya dari pihak ibu, Tjan Khay Sing, seorang pengusaha batik di Solo. Ia mempunyai empat tempat pembatikan yakni dua di Kratonan, satu di Ngapenan, dan satu lagi di Kestalan, dengan karyawan sekitar 1.000 orang.

Sejak kecil Tik Swan biasa bermain di antara para tukang cap, dengan anak-anak yang membersihkan malam dari kain, dan mencucinya, mereka yang membubuhkan warna coklat dari kulit pohon soga, dan orang-orang yang menulisi kain dengan canting.

Baca Juga:  Wabup Bandung: Sembilan PT Bisa Wujudkan Pecepatan Pembangunan

Ia juga senang mendengarkan mereka menembang dan mendongeng tentang Dewi Sri dan berbagai cerita tradisional Jawa. Dari mereka ia belajar mengenal macapat, pedalangan, gending, Hanacaraka, dan tarian Jawa.

Tik Swan dikirim bersekolah di Neutrale Europese Lagere School bersama warga kraton, anak-anak ningrat, anak-anak pemuka masyarakat, dan anak-anak pembesar Belanda.

Ini disebabkan karena kedua orang tuanya adalah keturunan pemuka masyarakat Tionghoa pada saat itu. Ayahnya adalah cucu dari Luitenant der Chinezen di Boyolali sedangkan ibunya cucu Luitenant der Chinezen dari Surakarta.

Baca Juga:  Innalillahi! Indah Daniarti, Wanita Cantik Yang Dibakar Pacarnya Tutup Usia

Tidak jauh dari rumah kakeknya, tinggalah Pangeran Hamidjojo, putra Pakubuwana X, seorang indolog lulusan Universitas Leiden dan juga penari Jawa klasik. Di rumah sang pangeran selalu diadakan latihan tari yang sejak awal sudah mempesona Tik Swan. Sementara itu Pangeran Prabuwinoto membangkitkan minat Go Tik Swan pada karawitan Jawa.

Ketika mengetahui bahwa keluarga Go Tik Swan Hardjono sudah turun-temurun mengusahakan batik, Soekarno menyarankan agar ia menciptakan “Batik Indonesia”. Ia tergugah, lalu pulang ke Solo untuk mendalami segala sesuatu tentang batik, termasuk sejarah dan falsafahnya.

Hubungannya yang akrab dengan keluarga keraton Solo memungkinkan Tik Swan Hardjono belajar langsung dari ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola batik pusaka.

Baca Juga:  Siap-siap, 14 Kelurahan Di Kota Bandung Terdampak Proyek KCIC

Pola-pola batik langka yang tadinya tidak dikenal umum maupun pola-pola tradisional lain digalinya dan dikembangkannya tanpa menghilangkan ciri dan maknanya yang hakiki.

Pola yang sudah dikembangkan itu diberinya warna-warna baru yang cerah, bukan hanya coklat, biru dan putih kekuningan seperti yang lazim dijumpai pada batik Solo-Yogya. Lahirlah yang disebut “Batik Indonesia”.

Saat itu warna-warna cerah cuma dipakai pada batik Pekalongan, tetapi motif batik Pekalongan kebanyakan buketan (karangan bunga aneka warna) yang berbeda sekali dari motif batik Vorstenlanden (Solo dan Yogya) yang biasanya sarat makna. (Red)