Deni menyatakan bahwa para pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha rokok elektrik, memiliki peran penting dalam mendukung implementasi kebijakan ini.
Rokok elektrik, sebagai salah satu barang kena cukai, tunduk pada aturan tersebut berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Deni menegaskan bahwa pengenaan cukai rokok terhadap rokok elektrik juga akan membawa konsekuensi pengenaan pajak rokok sebagai pungutan atas cukai rokok (piggyback taxes).
Meskipun cukai rokok terhadap rokok elektrik diterapkan sejak tahun 2018, Pajak Rokok belum langsung dikenakan pada saat itu.
Deni menjelaskan bahwa hal ini merupakan bentuk pemberian masa transisi yang cukup, sejalan dengan konsep piggyback taxes yang diterapkan sejak tahun 2014 berdasarkan amanah Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009.
Dalam konteks keadilan, pengenaan pajak rokok elektrik dianggap lebih mengedepankan aspek tersebut, terutama mengingat rokok konvensional telah dikenakan pajak sejak tahun 2014.
Deni menambahkan bahwa dalam jangka panjang, penggunaan rokok elektrik berpotensi mempengaruhi kesehatan dan kandungan bahan di dalamnya, sehingga perlu dikendalikan.
Penerimaan cukai rokok elektrik pada tahun 2023 sebesar Rp 1,75 triliun, atau setara dengan 1 persen dari total penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dalam setahun.
Sebagai upaya kontribusi bersama, setidaknya 50 persen dari penerimaan pajak rokok diarahkan untuk pelayanan kesehatan masyarakat (Jamkesnas) dan penegakan hukum.
Kebijakan ini diharapkan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat dan mendukung pelayanan publik yang lebih baik di daerah. (red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News